Senjata Beteknologi AI Bisa Ambil Keputusan untuk Membunuh Manusia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dunia harus bersatu untuk mengekang munculnya ' robot pembunuh' atau menghadapi 'masa depan yang buruk' dengan warga sipil di mana pun berada dalam bahaya, kata seorang pemimpin hak asasi manusia.
Seperti dilansir Daily Star, Sistem senjata otonom (LAWS) yang dihasilkan kecerdasan buatan yang sedang dikembangkan mampu memilih dan menyerang target berdasarkan pemrosesan sensor tanpa campur tangan manusia.
Kemampuan ini memberikan kebebasan pada mesin sekaligus kemampuan untuk mengambil nyawa manusia karena target LAWS didasarkan pada data yang diterima dan diproses, tanpa ada unsur belas kasihan.
Drone LAWS sedang dikembangkan di seluruh dunia dan telah digunakan di medan perang di kawasan Afrika Tengah.
Senjata-senjata ini beroperasi tanpa memperhatikan hukum internasional karena keputusan untuk membunuh dibuat oleh robot, bukan manusia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak para pemimpin dunia untuk menandatangani perjanjian untuk menyetujui tidak menggunakan senjata LAWS.
Wakil Direktur Krisis, Konflik dan Senjata Human Rights Watch (HRW), Mary Wareham menginginkan keputusan pelarangan senjata tersebut diambil pada Sidang Umum PBB bulan depan.
“Tanpa hukum yang jelas, dunia menghadapi masa depan yang gelap dimana pembunuhan otonom oleh robot-robot ini membahayakan warga sipil di mana pun mereka berada,” kata Wareham.
Menurutnya, para pemimpin dunia telah menyadari bencana yang diakibatkan oleh penghapusan kendali manusia atas sistem senjata.
“Ada dukungan internasional yang luas agar permasalahan ini dapat diatasi. Hal ini seharusnya mendorong pemerintah di seluruh dunia untuk melakukan negosiasi tanpa penundaan lebih lanjut,” tambah Wareham.
Ia menyampaikan seruan tersebut setelah Sekretaris Jenderal PBB, AntĂłnio Guterres menerbitkan laporan yang menuntut agar perjanjian internasional ditandatangani untuk 'melarang sistem senjata yang berfungsi tanpa kendali manusia dan tidak mematuhi hukum kemanusiaan internasional'.
“Waktu hampir habis bagi komunitas internasional untuk mengambil tindakan pencegahan terhadap masalah ini.
“Kita perlu bertindak segera untuk mempertahankan kendali manusia atas penggunaan kekuatan,” kata Guterres dalam peringatannya.
Ia berharap para pemimpin dunia akan menyepakati 'perjanjian masa depan' yang melarang pengembangan robot pembunuh pada pertemuan puncak PBB pada 22 September.
Sejauh ini, para ahli yakin LAWS telah digunakan dua kali, sekali dalam konflik dan sekali lagi dalam sesi pelatihan.
Pada tahun 2020, pasukan yang didukung pemerintah Libya mengerahkan drone Kargu-2 buatan Turki untuk memerangi milisi musuh.
Menurut laporan PBB, drone 'berburu dan menyerang' musuh dari jauh' dan memilih sasarannya sendiri.
Jumlah korban tidak diketahui namun menurut beberapa ahli, drone tersebut tidak dapat membedakan sasaran militer dan sasaran sipil.
Pada bulan Mei tahun ini, militer Amerika Serikat menguji drone otonom Triton di Libreville, Gabon dalam latihan anti-pembajakan. Ia menggunakan pemindai dan sensor beresolusi tinggi untuk mengumpulkan intelijen sendiri dan meluncurkan tindakan pencegahan.
Drone tersebut memiliki varian udara dan laut dan dapat bertahan di bawah air selama seminggu. Para ahli khawatir teknologi LAWS bisa jatuh ke tangan jaringan teroris.
Beberapa drone canggih telah hilang dalam operasi kontra-terorisme.
AS dilaporkan kehilangan tiga drone MQ-9 Reaper ke milisi Houthi di Yaman pada Mei lalu dan sebelumnya, drone MQ-1 Predator di Libya dan Nigeria.
Seperti dilansir Daily Star, Sistem senjata otonom (LAWS) yang dihasilkan kecerdasan buatan yang sedang dikembangkan mampu memilih dan menyerang target berdasarkan pemrosesan sensor tanpa campur tangan manusia.
Kemampuan ini memberikan kebebasan pada mesin sekaligus kemampuan untuk mengambil nyawa manusia karena target LAWS didasarkan pada data yang diterima dan diproses, tanpa ada unsur belas kasihan.
Drone LAWS sedang dikembangkan di seluruh dunia dan telah digunakan di medan perang di kawasan Afrika Tengah.
Senjata-senjata ini beroperasi tanpa memperhatikan hukum internasional karena keputusan untuk membunuh dibuat oleh robot, bukan manusia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak para pemimpin dunia untuk menandatangani perjanjian untuk menyetujui tidak menggunakan senjata LAWS.
Wakil Direktur Krisis, Konflik dan Senjata Human Rights Watch (HRW), Mary Wareham menginginkan keputusan pelarangan senjata tersebut diambil pada Sidang Umum PBB bulan depan.
“Tanpa hukum yang jelas, dunia menghadapi masa depan yang gelap dimana pembunuhan otonom oleh robot-robot ini membahayakan warga sipil di mana pun mereka berada,” kata Wareham.
Menurutnya, para pemimpin dunia telah menyadari bencana yang diakibatkan oleh penghapusan kendali manusia atas sistem senjata.
“Ada dukungan internasional yang luas agar permasalahan ini dapat diatasi. Hal ini seharusnya mendorong pemerintah di seluruh dunia untuk melakukan negosiasi tanpa penundaan lebih lanjut,” tambah Wareham.
Ia menyampaikan seruan tersebut setelah Sekretaris Jenderal PBB, AntĂłnio Guterres menerbitkan laporan yang menuntut agar perjanjian internasional ditandatangani untuk 'melarang sistem senjata yang berfungsi tanpa kendali manusia dan tidak mematuhi hukum kemanusiaan internasional'.
“Waktu hampir habis bagi komunitas internasional untuk mengambil tindakan pencegahan terhadap masalah ini.
“Kita perlu bertindak segera untuk mempertahankan kendali manusia atas penggunaan kekuatan,” kata Guterres dalam peringatannya.
Ia berharap para pemimpin dunia akan menyepakati 'perjanjian masa depan' yang melarang pengembangan robot pembunuh pada pertemuan puncak PBB pada 22 September.
Sejauh ini, para ahli yakin LAWS telah digunakan dua kali, sekali dalam konflik dan sekali lagi dalam sesi pelatihan.
Pada tahun 2020, pasukan yang didukung pemerintah Libya mengerahkan drone Kargu-2 buatan Turki untuk memerangi milisi musuh.
Menurut laporan PBB, drone 'berburu dan menyerang' musuh dari jauh' dan memilih sasarannya sendiri.
Jumlah korban tidak diketahui namun menurut beberapa ahli, drone tersebut tidak dapat membedakan sasaran militer dan sasaran sipil.
Pada bulan Mei tahun ini, militer Amerika Serikat menguji drone otonom Triton di Libreville, Gabon dalam latihan anti-pembajakan. Ia menggunakan pemindai dan sensor beresolusi tinggi untuk mengumpulkan intelijen sendiri dan meluncurkan tindakan pencegahan.
Drone tersebut memiliki varian udara dan laut dan dapat bertahan di bawah air selama seminggu. Para ahli khawatir teknologi LAWS bisa jatuh ke tangan jaringan teroris.
Beberapa drone canggih telah hilang dalam operasi kontra-terorisme.
AS dilaporkan kehilangan tiga drone MQ-9 Reaper ke milisi Houthi di Yaman pada Mei lalu dan sebelumnya, drone MQ-1 Predator di Libya dan Nigeria.
(wbs)