Proyek Nimbus, Menguak Konspirasi Google dan Israel dalam Genosida di Gaza

Kamis, 06 Juni 2024 - 13:12 WIB
loading...
Proyek Nimbus, Menguak...
Proyek Nimbus menuai penolakan dari berbagai pihak. (Foto: Al Jazeera)
A A A
JAKARTA - Proyek Nimbus yang diinisiasi oleh pemerintah Israel menghebohkan publik karena ditengarai melibatkan dua perusahaan raksasa, Google dan Amazon. Detail Proyek Nimbus Israel misterius dan akan menguak konspirasi global.

Proyek Nimbus secara umum seperti tender kontrak kerja bersama untuk layanan cloud atau komputasi awan. Kementerian Pertahanan dan Pasukan Pertahanan Israel menyepakati kerja sama dengan Google dan Amazon yang disebut sebagai pelanggan Nimbus.

The Intercept melansir, Kamis (6/6/2024) sebuah dokumen pengadaan pemerintah Israel setebal 63 halaman tersebar dan menguak fakta bahwa dua dari produsen senjata milik negara terkemuka di Israel diharuskan menggunakan Amazon dan Google untuk kebutuhan komputasi awan. Rincian pekerjaan antara kedua penyedia layanan dengan pelanggan Nimbus tidak diuraikan. Namun, pihak Israel akan memeroleh layanan perangkat lunak melalui Nimbus.

Secara spesifik, para pelanggan Nimbus yaitu kementerian, lembaga, dan perusahaan-perusahaan Israel yang bertanggung jawab atas pembuatan drone, rudal, dan senjata lainnya yang bertugas untuk membombardir wilayah Gaza dan warga Palestina. Tercatat hingga kini, Setidaknya 36.586 orang meninggal dunia dan 83.074 terluka dalam perang Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Mayoritas korban adalah warga sipil dan anak-anak.

"Jika perusahaan teknologi, termasuk Google dan Amazon terlibat dalam kegiatan bisnis yang dapat berdampak pada warga Palestina di Gaza, atau bahkan warga Palestina yang hidup di bawah apartheid secara umum, mereka harus bertanggung jawab untuk melakukan uji tuntas hak asasi manusia dalam produknya," kata Matt Mahmoudi, peneliti di Amnesty International yang bekerja pada isu-isu teknologi.



Uji HAM yang dimaksud mencakup bagaimana mereka berencana untuk mencegah, mengurangi, dan memberikan pemulihan untuk potensi pelanggaran HAM, terutama mengingat hubungan wajib dengan produsen senjata yang berkontribusi pada risiko genosida.

Spesifikasi Proyek Nimbus sebenarnya menyediakan layanan cloud untuk pemerintah Israel mulai dari obrolan video Google Meet hingga berbagai alat pembelajaran mesin yang canggih. Namun, kehebohan publik membuay Google dan Amazon bungkam menghadapi reaksi protes jalanan hingga boikot para pekerja.

Berdasarkan dokumen tender Proyek Nimbus senilai USD1,2 miliar atau Rp2 triliun, sebagian besar terdiri dari rincian hukum, aturan, dan peraturan yang menjelaskan detil pemerintah Israel akan membeli layanan komputasi awan dari Amazon dan Google.

Kontraknya berawal pada 2021 dan telah diperbarui secara berkala hingga Oktober 2023. Salah satu lampiran dokumen tersebut mencakup daftar perusahaan dan kantor pemerintah Israel sebagai subjek tender, namun tidak mewajibkan entitas mana pun untuk membeli layanan cloud.

Di sisi lain terdapat daftar pelanggan cloud wajib yang mencakup entitas negara, seperti Bank of Israel, Otoritas Bandara Israel, dan Divisi Pemukiman, sebuah badan kuasi-pemerintah yang bertugas memperluas koloni Israel di Tepi Barat. Dua produsen senjata milik negara Israel yang paling terkemuka, Israel Aerospace Industries dan Rafael Advanced Defense Systems termasuk dalam daftar.



“Kontrak Proyek Nimbus berjalan di cloud komersial kami dengan pemerintah Israel yang setuju untuk mematuhi Ketentuan Layanan dan Kebijakan Penggunaan kami. Di seluruh divisi Google jelas bahwa kami tidak akan merancang atau menerapkan aplikasi AI sebagai senjata atau sistem senjata, atau untuk pengawasan massal,” terang pihak Google.

Meski hanya menyebutkan layanan umum Google semata, sejatinya pihak militer Israel menggunakan pengenalan wajah Google Photos untuk memetakan, mengidentifikasi, dan membuat daftar target warga Palestina di Gaza. Google tidak mengonfirmasi apakah mereka mengizinkan penggunaan perangkat lunaknya untuk tujuan ini. Baik Google dan Amazon mengatakan pekerjaan mereka dipandu oleh Prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Bisnis dan HAM.

Rafael, kontraktor senjata milik negara yang masuk dalam daftar pelanggan Nimbus dikenal sebagai raksasa sektor pertahanan Israel. Perusahaan ini menyediakan berbagai rudal, drone, dan sistem senjata lainnya untuk militer Israel.

Mereka menjual sistem pertahanan roket Iron Dome yang terkenal dan sistem penangkal anti-roket Trophy yang membantu melindungi tank militer Israel selama serangan darat di Gaza. Militer Israel juga menggunakan rudal Spike buatan Rafael yang dapat ditembakkan dari peluncur di bahu, jet, atau drone.

Elta Systems, anak perusahaan Israel Aerospace Industries (IAI) sebagai pelanggan wajib Nimbus bergerak di bidang perangkat keras pengawasan elektronik. Elta ikut mengembangkan Panda, buldoser yang dikendalikan dari jarak jauh yang digunakan militer Israel untuk menghancurkan sebagian wilayah Gaza.

Di sisi lain, Google menyediakan akses pengguna Nimbus ke Foundry, alat analisis data yang dibuat oleh kontraktor pertahanan dan intelijen AS, Palantir. Foundry digunakan oleh pasukan militer termasuk Komando Operasi Khusus AS dan Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Pada 2019, Washington Post melaporkan bahwa Angkatan Darat AS menghabiskan USD110 juta untuk Foundry.



Proyek Nimbus memang mencakup dimensi militer yang menonjol. Namun, Google konsisten meremehkan pekerjaan kontraktual dengan militer Israel. "Nimbus tidak ditujukan untuk kerja yang sangat sensitif, rahasia, atau militer yang relevan dengan layanan senjata atau intelijen,” jelas Google. Sementara pihak Amazon Web Service cenderung menghindari membahas kontrak tersebut.

“Operasi perang yang didefinisikan secara sempit hanya dapat dilanjutkan melalui infrastruktur komunikasi dan data yang lebih luas menjadi andalannya,” kata Lucy Suchman, profesor emerita antropologi sains dan teknologi di Universitas Lancaster.

Intinya, menyediakan infrastruktur tersebut untuk industri dan organisasi yang bertanggung jawab atas produksi dan penyebaran sistem senjata dapat dianggap terlibat dalam operasi perang meski tidak langsung.

Proyek Nimbus terbukti sangat kontroversial di dalam Google dan Amazon, memicu gelombang perlawanan karyawan yang belum pernah terlihat sejak kontroversi mengenai kontrak Google untuk mendukung program drone militer AS.

Sementara pekerja dari kedua perusahaan secara terbuka memprotes kontrak Nimbus. Menyusul aksi duduk anti-Nimbus yang diorganisir di kantor perusahaan di New York dan Sunnyvale, California. Google memecat 50 karyawan yang menurut mereka ikut serta dalam protes tersebut.

Pekerja teknologi menuntut hak untuk mengetahui bagaimana hasil kerja mereka akan digunakan. Mereka khawatir teknologi tersebut mungkin digunakan untuk hal-hal yang merugikan, termasuk perang.

Aktivis dan akademisi khawatir dengan penggunaan kecerdasan buatan (AI) oleh Israel untuk menargetkan warga Palestina, sementara pakar hukum mengatakan penggunaan AI dalam perang melanggar hukum internasional . “Ada kekurangan transparansi yang mengejutkan mengenai apa yang tercakup dalam Proyek Nimbus ini, di luar penyediaan komputasi awan yang dapat dioperasikan dan komprehensif, yang pada dasarnya sistem penyimpanan data, manajemen data, dan berbagi data,” kata Ramesh Srinivasan, profesor di University of California, Los Angeles (UCLA), kepada Al Jazeera.

Data untuk pemerintah Israel, katanya, akan meluas ke tentara Israel. Jadi proyek ini menandai dan menyoroti hubungan langsung yang dimiliki perusahaan teknologi besar di Amerika Serikat, tidak hanya dengan kompleks industri militer, tetapi juga dengan membantu dan mendukung pemerintah Israel.

Pada bulan Desember tahun lalu, sebagai tanggapan terhadap Proyek Nimbus, 1.700 karyawan mengirimkan petisi kepada CEO Amazon Andy Jassy. Mereka menyatakan bahwa “dengan menyediakan ekosistem cloud untuk sektor publik Israel, Amazon memperkuat kemampuan kecerdasan buatan dan pengawasan militer Israel yang digunakan untuk menekan aktivis Palestina dan memberlakukan pengepungan brutal di Gaza”.

Bukan hanya perusahaan teknologi komputasi awan yang menyediakan kontrak kepada militer Israel. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan minggu lalu oleh Universitas Brown, Roberto J Gonzalez, profesor antropologi budaya di Universitas Negeri San Jose, menjelaskan bagaimana perusahaan publik AS, Palantir Technologies, terlibat dengan Israel.

“Selama bertahun-tahun, Palantir memiliki beberapa kontrak dengan tentara Israel, dan memperpanjang dukungannya untuk Israel setelah perangnya melawan Hamas dimulai pada Oktober 2023,” kata Gonzalez dalam komentar yang diterbitkan pada 17 April.

Palantir, perusahaan analisis data yang berbasis di Denver menyediakan kecerdasan buatan untuk lembaga militer, didirikan bersama oleh miliarder sayap kanan Peter Thiel. Palantir telah bekerja dengan Badan Keamanan Nasional AS, sebelumnya menyediakan solusi teknologi untuk militer Israel .

Laporan yang sama juga menunjukkan peran yang semakin meningkat dari perusahaan teknologi besar dalam perang. Seringkali, pengenalan teknologi baru dapat membawa korban manusia yang mengerikan jika tidak diuji dan diverifikasi dengan baik. “Semua orang tahu sistem AI ini akan membuat kesalahan sehingga akan ada kematian dan pembunuhan yang salah seperti yang telah kita lihat dengan begitu banyak warga sipil di Gaza,” kata Srinivasan, profesor UCLA.
(msf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4597 seconds (0.1#10.140)