Pakar Sebut Perlu Regulasi Platform OTT Agar Industri Komunikasi Tetap Sehat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan, pemerintah Indonesia perlu membuat regulasi platform over the top (OTT) secara lebih ketat. Jika dibiarkan terlalu lama, ketimpangan pendapatan antara OTT dengan operator seluler akan menyebabkan industri telekomunikasi tidak sehat.
Sigit menjelaskan, platform OTT saat ini berhasil memperoleh pendapatan jauh lebih besar dibanding para operator seluler. Padahal, OTT bisa beroperasi dengan lancar di Tanah Air berkat peran operator telekomunikasi.
“Pada tahun 2021 perusahaan telekomunikasi hanya mendapat USD702 miliar, sedangkan OTT USD753 miliar. Prediksinya pendapatan OTT akan terus naik ke depannya,” ungkap Sigit dalam acara diskusi Selular Business Forum atau SBF 2023 di Jakarta, Rabu (27/12/2023).
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi berpendapat, harus ada sumbangsih OTT untuk membantu operator telekomunikasi membangun infrastruktur digital di Indonesia. Sumbangsih itu bisa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu bisa dengan pajak digital hingga penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.
Dia menambahkan Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah menerapkan digital services tax. “Penerapan digital services tax (DTS) bisa belajar dari Prancis, Italia, Portugal, Spanyol, Turki, dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda,” sambung Heru.
Sementara itu, Pengamat Telekomunikasi, Kamilov Sagala menilai pemerintah harus segera membuat regulasi terkait OTT. Dia menilai penting bagi OTT bisa turut mengambil beban universal service obligation (USO).
Kemudian turut membayar biaya yang setara dengan biaya hak penyelenggara (BHP), membantu masyarakat yang dimarginalkan melalui CSR, hingga memperkuat kerja sama dengan operator. “Bayangkan jika OTT mampu membantu membuat infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), maka masyarakat pendapatannya juga semakin meningkat," pungkasnya.
Sigit menjelaskan, platform OTT saat ini berhasil memperoleh pendapatan jauh lebih besar dibanding para operator seluler. Padahal, OTT bisa beroperasi dengan lancar di Tanah Air berkat peran operator telekomunikasi.
“Pada tahun 2021 perusahaan telekomunikasi hanya mendapat USD702 miliar, sedangkan OTT USD753 miliar. Prediksinya pendapatan OTT akan terus naik ke depannya,” ungkap Sigit dalam acara diskusi Selular Business Forum atau SBF 2023 di Jakarta, Rabu (27/12/2023).
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi berpendapat, harus ada sumbangsih OTT untuk membantu operator telekomunikasi membangun infrastruktur digital di Indonesia. Sumbangsih itu bisa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu bisa dengan pajak digital hingga penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.
Dia menambahkan Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah menerapkan digital services tax. “Penerapan digital services tax (DTS) bisa belajar dari Prancis, Italia, Portugal, Spanyol, Turki, dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda,” sambung Heru.
Sementara itu, Pengamat Telekomunikasi, Kamilov Sagala menilai pemerintah harus segera membuat regulasi terkait OTT. Dia menilai penting bagi OTT bisa turut mengambil beban universal service obligation (USO).
Kemudian turut membayar biaya yang setara dengan biaya hak penyelenggara (BHP), membantu masyarakat yang dimarginalkan melalui CSR, hingga memperkuat kerja sama dengan operator. “Bayangkan jika OTT mampu membantu membuat infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), maka masyarakat pendapatannya juga semakin meningkat," pungkasnya.
(wib)