Google Bard vs ChatGPT: Perang Kecerdasan Buatan di 2023!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kompetisi chatbot AI memanas di awal 2023. Teknologi artificial intelligence (AI) pemodelan bahasa (language model) jadi isu yang sangat seksi. Sebab, diperkirakan bakal mendisrupsi industri mesin pencari.
Saat ini, perusahaan induk Google Alphabet dan Microsoft sedang bersitegang. Mereka sama-sama berlomba untuk jadi pemain dominan di pasar chatbot AI.
Heboh soal chatbot AI ini sudah dimulai sejak November 2022. Tepatnya ketika perusahaan OpenAI membuka akses terhadap produk mereka bernama ChatGPT.
ChatGPT adalah perangkat lunak chatbot berupa model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata berikutnya dalam suatu percakapan ataupun perintah teks.
Dibanding mesin pencarian, ChatGPT mampu menangkap berbagai gaya bahasa dan konteks percakapan.
Sehingga, ChatGPT bisa melakukan lebih banyak hal dibanding mesin pencari. Mulai mengerjakan soal matematika, membuat presentasi, mengarang cerita, bahkan teman ngobrol.
200 Juta User dalam 2 Bulan
Yang jelas, keberadaan ChatGPT mencuri perhatian warganet. Hanya dalam 2 bulan sejak diluncurkan, pengguna ChatGPT tembus 100 juta.
Bahkan TikTok pun butuh waktu 9 bulan dan Instagram 2 tahun untuk mendapat pengguna yang sama. Sampai-sampai OpenAI merilis layanan berbayar ChatGPT Plus seharga USD20 (Rp300 ribu) per bulan untuk pelanggan di AS. Bahkan ChatGPT sudah berani menargetkan pendapatan USD200 juta (Rp3 triliun) di 2023.
Tiba-tiba Microsoft mengungkap rencana untuk menyuntik OpenAI senilai USD10 miliar (Rp151 triliun). Dan ternyata itu bukan yang pertama. Karena selama 2019-2021 Microsoft ternyata pernah beberapa kali berinvestasi di OpenAI.
Misalnya, pada 2021, Microsoft menyuntuk USD1 miliar ke OpenAI agar mereka memakai layanan cloud Microsoft Azure untuk menjalankan ChatGPT. Usut punya usut, OpenAI ternyata dijadikan Microsoft sebagai senjata untuk melawan Google. Mereka akan segera mengintegrasikan layanan ChatGPT ke mesin pencari mereka, Bing.
CEO Microsoft Satya Nadella awal pekan ini mengatakan bahwa pencarian yang ditenagai oleh kecerdasan buatan sebagai sesuatu yang revolusioner. Bahkan ini adalah perubahan teknologi terbesar yang terjadi di Microsoft selama ia menjabat sebagai CEO. "Saya tidak melihat perubahan sebesar ini sejak 2007-2008, ketika cloud/komputasi awan pertama keluar," beber Nadella kepada Media.
Google Jadi Gerah
Tampilan jawaban dari Google Bard yang berada diatas hasil pencarian. Foto: dok Google
Hiruk pikuk soal ChatGPT ini bikin Google gerah. Banyak yang mempertanyakan langkah Google selanjutnya. Padahal, sebenarnya mereka juga sudah punya AI chatbot sendiri. Tapi, diam-diam saja.
Langkah Microsoft yang “menyerang”, mau tidak mau bikin Google buka suara. Mereka akhirnya mengumumkan soal teknologi AI generatif bernama Bard.
“Bard berupaya menggabungkan luasnya pengetahuan dunia dengan kekuatan, kecerdasan, dan kreativitas pemodelan bahasa kami. Semua itu mengacu pada informasi dari web untuk memberi tanggapan yang segar dan berkualitas tinggi. Bard dapat membantu Anda menjelaskan Teleskop Luar Angkasa James Webb NASA kepada anak berusia 9 tahun, misalnya," tulis CEO Google Sundar Pichai dalam blog Google.
Chatbot AI Microsoft dan Google ini berpotensi merevolusi cara konsumen mencari informasi atau membuat konten sesuai perintah. Namun, seperti halnya teknologi baru, kemungkinan akan ada tantangan yang muncul saat AI chatbots semakin tersebar luas.
Salah satu masalah potensial adalah potensi chatbot AI untuk menghasilkan jawaban yang salah atau tidak masuk akal. Memastikan keakuratan dan keandalan teknologi ini akan sangat penting dalam mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan publik.
Mungkin juga ada masalah privasi dan keamanan saat pengguna memasukkan informasi pribadi dan data sensitif ke dalam sistem ini. Walaupun Microsoft dan Google yang sedang bersaing, tapi pemenang akhirnya nanti adalah konsumen dan perusahaan. Mereka yang akan mendapat manfaat dari kenyamanan dan efisiensiteknologiini.
Saat ini, perusahaan induk Google Alphabet dan Microsoft sedang bersitegang. Mereka sama-sama berlomba untuk jadi pemain dominan di pasar chatbot AI.
Heboh soal chatbot AI ini sudah dimulai sejak November 2022. Tepatnya ketika perusahaan OpenAI membuka akses terhadap produk mereka bernama ChatGPT.
ChatGPT adalah perangkat lunak chatbot berupa model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata berikutnya dalam suatu percakapan ataupun perintah teks.
Dibanding mesin pencarian, ChatGPT mampu menangkap berbagai gaya bahasa dan konteks percakapan.
Sehingga, ChatGPT bisa melakukan lebih banyak hal dibanding mesin pencari. Mulai mengerjakan soal matematika, membuat presentasi, mengarang cerita, bahkan teman ngobrol.
200 Juta User dalam 2 Bulan
Yang jelas, keberadaan ChatGPT mencuri perhatian warganet. Hanya dalam 2 bulan sejak diluncurkan, pengguna ChatGPT tembus 100 juta.
Bahkan TikTok pun butuh waktu 9 bulan dan Instagram 2 tahun untuk mendapat pengguna yang sama. Sampai-sampai OpenAI merilis layanan berbayar ChatGPT Plus seharga USD20 (Rp300 ribu) per bulan untuk pelanggan di AS. Bahkan ChatGPT sudah berani menargetkan pendapatan USD200 juta (Rp3 triliun) di 2023.
Tiba-tiba Microsoft mengungkap rencana untuk menyuntik OpenAI senilai USD10 miliar (Rp151 triliun). Dan ternyata itu bukan yang pertama. Karena selama 2019-2021 Microsoft ternyata pernah beberapa kali berinvestasi di OpenAI.
Misalnya, pada 2021, Microsoft menyuntuk USD1 miliar ke OpenAI agar mereka memakai layanan cloud Microsoft Azure untuk menjalankan ChatGPT. Usut punya usut, OpenAI ternyata dijadikan Microsoft sebagai senjata untuk melawan Google. Mereka akan segera mengintegrasikan layanan ChatGPT ke mesin pencari mereka, Bing.
CEO Microsoft Satya Nadella awal pekan ini mengatakan bahwa pencarian yang ditenagai oleh kecerdasan buatan sebagai sesuatu yang revolusioner. Bahkan ini adalah perubahan teknologi terbesar yang terjadi di Microsoft selama ia menjabat sebagai CEO. "Saya tidak melihat perubahan sebesar ini sejak 2007-2008, ketika cloud/komputasi awan pertama keluar," beber Nadella kepada Media.
Google Jadi Gerah
Tampilan jawaban dari Google Bard yang berada diatas hasil pencarian. Foto: dok Google
Hiruk pikuk soal ChatGPT ini bikin Google gerah. Banyak yang mempertanyakan langkah Google selanjutnya. Padahal, sebenarnya mereka juga sudah punya AI chatbot sendiri. Tapi, diam-diam saja.
Langkah Microsoft yang “menyerang”, mau tidak mau bikin Google buka suara. Mereka akhirnya mengumumkan soal teknologi AI generatif bernama Bard.
“Bard berupaya menggabungkan luasnya pengetahuan dunia dengan kekuatan, kecerdasan, dan kreativitas pemodelan bahasa kami. Semua itu mengacu pada informasi dari web untuk memberi tanggapan yang segar dan berkualitas tinggi. Bard dapat membantu Anda menjelaskan Teleskop Luar Angkasa James Webb NASA kepada anak berusia 9 tahun, misalnya," tulis CEO Google Sundar Pichai dalam blog Google.
Chatbot AI Microsoft dan Google ini berpotensi merevolusi cara konsumen mencari informasi atau membuat konten sesuai perintah. Namun, seperti halnya teknologi baru, kemungkinan akan ada tantangan yang muncul saat AI chatbots semakin tersebar luas.
Salah satu masalah potensial adalah potensi chatbot AI untuk menghasilkan jawaban yang salah atau tidak masuk akal. Memastikan keakuratan dan keandalan teknologi ini akan sangat penting dalam mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan publik.
Mungkin juga ada masalah privasi dan keamanan saat pengguna memasukkan informasi pribadi dan data sensitif ke dalam sistem ini. Walaupun Microsoft dan Google yang sedang bersaing, tapi pemenang akhirnya nanti adalah konsumen dan perusahaan. Mereka yang akan mendapat manfaat dari kenyamanan dan efisiensiteknologiini.
(dan)