Analis: Pasar Cetak 3D Diprediksi Capai Rp111 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Industri 3D Printing atau Cetak 3 Dimensi semakin berkembang. Analis memprediksi pasar cetak 3D global pada 2020 bisa mencapai USD8,6 miliar atau sekitar Rp110,9 triliun (Rp111 triliun).
Peningkatan tersebut sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan gabungan (CAGR) sebesar 20,6% antara 2014 hingga 2020. Potensi pertumbuhan bisnis cetak 3D untuk kawasan Asia Tenggara, khususnya Singapura dan Indonesia menjanjikan.
Hal itu disampaikan General Manager Creatz 3D Sean Looi. ”Di Singapura dengan tenaga kerja mahal, proses Additive Manufacturing (AM) atau 3D Printing bisa meningkatkan produktivitas dan menghemat biaya,” katanya.
AM, menurut Looi, dapat difungsikan untuk mendukung proses manufaktur tradisional. Misalnya memperpendek alur proses produksi.
Di Singapura, teknologi 3D Printer biasa digunakan di bidang industri yang membutuhkan Kesesuaian (Fit), Bentuk (Form) dan Fungsi (Function). Belakangan, penggunaan AM sudah memasuki areal produksi dan suku cadang.
”AM dapat diaplikasi lintas sektor industri, asalkan para pelaku industri mampu mengubah pola pikirnya untuk bisa menerima AM sebagai pelengkap bagi alur kerja bisnis mereka,” paparnya. Ia mengakui, saat ini bisnis cetak 3D masih dianggap sebagai gimmick.
Tapi konsumen tak melihat bagaimana implementasi AM telah mengubah bagaimana sebuah produk dirancang dan diproduksi. “Memang ada celah pengetahuan antara para produsen dan konsumen. Dan ini perlu edukasi untuk menjembataninya,” ungkap Sean Looi.
Sistem cetak 3D/AM dinilainya memiliki banyak manfaat. Tapi, masih butuh edukasi untuk mendorong pengaplikasiannya di berbagai industri.
Edukasi bisa dilakukan melalui pelatihan para insinyur sehingga nantinya dapat dikolaborasikan dengan proses bisnis. Industri automotif juga menjadi salah satu sektor yang bisa memanfaatkan cetak 3D.
Aplikasi 3D Printer di Indonesia bisa dilihat dari pengalaman Immersa Lab, laboratorium di bawah Bandung Techno Park. Awalnya, Immersalab hanya melakukan riset di bidang Embedded System itu menggunakan printer 3D untuk mendukung riset dan produksi. Belakangan mereka melihat kebutuhan di masyarakat akan printing 3D semakin tinggi, sehingga mereka membuka layanan jasa mencetak 3D untuk umum.
”Supaya masyarakat dapat ikut memanfaatkan jasa 3D printer, mengingat harga unitnya masih relatif mahal,” kata Sales & Marketing Immersa Lab Eko Rahayu. Diakui oleh Eko, kendala yang ia temui adalah masyarakat masih banyak yang belum mengenal dan menguasai software 3D. Berbeda dengan desain 2D seperti Corel Draw atau Photoshop yang sudah populer.
”Problemnya, jika mereka ingin mencetak sesuatu dalam bentuk 3D, maka mereka harus memiliki file dalam format 3D yang siap dicetak. Ini jadi masalah karena jumlah animator dan desainer masih terbatas,” katanya. Untuk dapat melakukan printing, diperlukan data objek 3D dengan format file *.STL.
Secara umum, software membaca objek 3D per layer. Informasi layer yang terbaca, diteruskan ke printer untuk dapat dicetak layer demi layer. Walau marketnya tergolong niche, namun Eko menilai tanggapan dengan munculnya jasa printer 3D ini sangatlah positif.
”Banyak dari mereka yang terbantu kebutuhannya. Latar belakangnya pun sangat berbeda. Ada yang membuat casing, mock up produk, miniatur, mainan, hingga maket,” pungkasnya.
Peningkatan tersebut sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan gabungan (CAGR) sebesar 20,6% antara 2014 hingga 2020. Potensi pertumbuhan bisnis cetak 3D untuk kawasan Asia Tenggara, khususnya Singapura dan Indonesia menjanjikan.
Hal itu disampaikan General Manager Creatz 3D Sean Looi. ”Di Singapura dengan tenaga kerja mahal, proses Additive Manufacturing (AM) atau 3D Printing bisa meningkatkan produktivitas dan menghemat biaya,” katanya.
AM, menurut Looi, dapat difungsikan untuk mendukung proses manufaktur tradisional. Misalnya memperpendek alur proses produksi.
Di Singapura, teknologi 3D Printer biasa digunakan di bidang industri yang membutuhkan Kesesuaian (Fit), Bentuk (Form) dan Fungsi (Function). Belakangan, penggunaan AM sudah memasuki areal produksi dan suku cadang.
”AM dapat diaplikasi lintas sektor industri, asalkan para pelaku industri mampu mengubah pola pikirnya untuk bisa menerima AM sebagai pelengkap bagi alur kerja bisnis mereka,” paparnya. Ia mengakui, saat ini bisnis cetak 3D masih dianggap sebagai gimmick.
Tapi konsumen tak melihat bagaimana implementasi AM telah mengubah bagaimana sebuah produk dirancang dan diproduksi. “Memang ada celah pengetahuan antara para produsen dan konsumen. Dan ini perlu edukasi untuk menjembataninya,” ungkap Sean Looi.
Sistem cetak 3D/AM dinilainya memiliki banyak manfaat. Tapi, masih butuh edukasi untuk mendorong pengaplikasiannya di berbagai industri.
Edukasi bisa dilakukan melalui pelatihan para insinyur sehingga nantinya dapat dikolaborasikan dengan proses bisnis. Industri automotif juga menjadi salah satu sektor yang bisa memanfaatkan cetak 3D.
Aplikasi 3D Printer di Indonesia bisa dilihat dari pengalaman Immersa Lab, laboratorium di bawah Bandung Techno Park. Awalnya, Immersalab hanya melakukan riset di bidang Embedded System itu menggunakan printer 3D untuk mendukung riset dan produksi. Belakangan mereka melihat kebutuhan di masyarakat akan printing 3D semakin tinggi, sehingga mereka membuka layanan jasa mencetak 3D untuk umum.
”Supaya masyarakat dapat ikut memanfaatkan jasa 3D printer, mengingat harga unitnya masih relatif mahal,” kata Sales & Marketing Immersa Lab Eko Rahayu. Diakui oleh Eko, kendala yang ia temui adalah masyarakat masih banyak yang belum mengenal dan menguasai software 3D. Berbeda dengan desain 2D seperti Corel Draw atau Photoshop yang sudah populer.
”Problemnya, jika mereka ingin mencetak sesuatu dalam bentuk 3D, maka mereka harus memiliki file dalam format 3D yang siap dicetak. Ini jadi masalah karena jumlah animator dan desainer masih terbatas,” katanya. Untuk dapat melakukan printing, diperlukan data objek 3D dengan format file *.STL.
Secara umum, software membaca objek 3D per layer. Informasi layer yang terbaca, diteruskan ke printer untuk dapat dicetak layer demi layer. Walau marketnya tergolong niche, namun Eko menilai tanggapan dengan munculnya jasa printer 3D ini sangatlah positif.
”Banyak dari mereka yang terbantu kebutuhannya. Latar belakangnya pun sangat berbeda. Ada yang membuat casing, mock up produk, miniatur, mainan, hingga maket,” pungkasnya.
(dyt)