IM2 Tak Perlu Bayar Denda Rp1,3 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Kerja sama PT Indosat Tbk dan PT Indosat Mega Media (IM2) dalam penggunaan jaringan ISP (internet service provider/penyedia jasa internet) dinilai sudah sesuai dengan amanat Undang-undang No 36 tahun 1999. Sehingga, tidak perlu membayar denda.
“Kerja sama penggunaan frekuensi tersebut adalah masalah perdata. Kalau misalnya PT IM2 tidak bayar, ya didenda saja. Jangan dibawa ke pengadilan Tipikor,” tegas pakar hukum administrasi dan korporasi dari Universitas Tarumanagera, Gunawan Widjaja di Jakarta, Kamis (20/11/2014).
Dia mengatakan, pada saat putusan PTUN sudah berlaku in kracht, maka putusan kasasi tidak ada artinya. Menurutnya, sudah selayaknya IM2 tidak memenuhi pembayaran uang pengganti Rp1,3 triliun, sebab hasil putusan kepada PT IM2 tidak ada dasar hukumnya.
“Ini karena IM2 bukan pihak dalam perkara tersebut. Jadi, eksekusi tidak bisa dilakukan,” kata Gunawan.
Kerja sama Indosat dan IM2 juga dilakukan oleh ratusan penyelenggara jasa internat (ISP) lain. Bila tidak, maka ratusan ISP yang melakukan pola kerja sama yang serupa akan mengalami nasib sama.
Anggota DPR Fraksi Partai Golkar, Meutya Hafidz menyarankan, agar Kejaksaan Agung menunggu kejelasan hukum atas dua putusan kasasi yang berbeda dari Mahkamah Agung. “Ini demi iklim investasi khususnya di bidang telekomunikasi yang kondusif,” ujarnya.
Menurut Meutya, semestinya seluruh stakeholders memahami komitmen bersama untuk membangun industri telekomunikasi yang lebih cepat ke depan, untuk pemerataan informasi dan komunikasi sesuai pasal 28F UUD 1945.
“Artinya, kita memerlukan industri ini untuk terus berkembang, jangan sampai keputusan yang tergesa-gesa membuat pelaku industri telekomunikasi resah, khawatir dan lari dari Indonesia. Harus ada kepastian hukum,” tuturnya.
Karena itu, Meutya meminta agar pihak terkait tidak memperburuk iklim investasi dan membunuh industri telekomunikasi. Dalam kasus tersebut, IM2 diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp1,3 triliun atas penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz.
“Kerja sama penggunaan frekuensi tersebut adalah masalah perdata. Kalau misalnya PT IM2 tidak bayar, ya didenda saja. Jangan dibawa ke pengadilan Tipikor,” tegas pakar hukum administrasi dan korporasi dari Universitas Tarumanagera, Gunawan Widjaja di Jakarta, Kamis (20/11/2014).
Dia mengatakan, pada saat putusan PTUN sudah berlaku in kracht, maka putusan kasasi tidak ada artinya. Menurutnya, sudah selayaknya IM2 tidak memenuhi pembayaran uang pengganti Rp1,3 triliun, sebab hasil putusan kepada PT IM2 tidak ada dasar hukumnya.
“Ini karena IM2 bukan pihak dalam perkara tersebut. Jadi, eksekusi tidak bisa dilakukan,” kata Gunawan.
Kerja sama Indosat dan IM2 juga dilakukan oleh ratusan penyelenggara jasa internat (ISP) lain. Bila tidak, maka ratusan ISP yang melakukan pola kerja sama yang serupa akan mengalami nasib sama.
Anggota DPR Fraksi Partai Golkar, Meutya Hafidz menyarankan, agar Kejaksaan Agung menunggu kejelasan hukum atas dua putusan kasasi yang berbeda dari Mahkamah Agung. “Ini demi iklim investasi khususnya di bidang telekomunikasi yang kondusif,” ujarnya.
Menurut Meutya, semestinya seluruh stakeholders memahami komitmen bersama untuk membangun industri telekomunikasi yang lebih cepat ke depan, untuk pemerataan informasi dan komunikasi sesuai pasal 28F UUD 1945.
“Artinya, kita memerlukan industri ini untuk terus berkembang, jangan sampai keputusan yang tergesa-gesa membuat pelaku industri telekomunikasi resah, khawatir dan lari dari Indonesia. Harus ada kepastian hukum,” tuturnya.
Karena itu, Meutya meminta agar pihak terkait tidak memperburuk iklim investasi dan membunuh industri telekomunikasi. Dalam kasus tersebut, IM2 diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp1,3 triliun atas penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz.
(dmd)