Mastel Minta Dukungan DPR Selesaikan Kasus IM2

Selasa, 11 November 2014 - 10:24 WIB
Mastel Minta Dukungan...
Mastel Minta Dukungan DPR Selesaikan Kasus IM2
A A A
JAKARTA - Masyarakat Telematik Indonesia (Mastel) meminta dukungan Komisi I DPR RI untuk penuntasan kasus IM2 dan pembebasan mantan direktur utamanya, Indar Atmanto.

Dukungan ini dibutuhkan karena Mastel melihat ada upaya kriminalisasi kasus IM2 dan juga industri jasa layanan internet (ICT) secara keseluruhan.

Ketua Umum Mastel, Setyanto P Santosa mengatakan, dengan adanya kasus IM2 membuat iklim usaha di bidang internet terganggu karena kasus ini telah menciptakan ketidakpastian hukum bagi investor dan pekerja yang bekerja di sektor ini.

“DPR, sebuah lembaga politik pembuat UU, agar memberikan perhatian lebih kepada kasus IM2 dan pembebasan Indar. Kami juga minta dukungan kepada Komisi I DPR agar menolak segal bentuk kriminalisasi di bidang TIK,” ujarnya usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi I DPR RI.

Langkah Mastel minta dukungan DPR ini dilakukan secara serius dengan membawa rombongan hampir seluruh anggota dan pengurus Mastel. Sebagai organisasi payung bagi perusahaan dan asosiasi di bidang telematika di Indonesia, selain pengurus Mastel, ikut dalam rombongn tersebut sejumlah pengurus dari BRTI, APJII, hingga ATSI. “Kita datang dengan pasukan lengkap,” ujar Setyanto.

Dalam RDPU yang berlangsung selama tiga jam lebih sejak pukul 10.30 WIB yang dipimpin anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Tantowi Yahya, Setyanto memaparkan secara detil perkembangan kasus IM2 dengan terpidana Indar Atmanto. Sejatinya, pengaturan penyelenggaraan bisnis di industri telekomunikasi telah diatur secara detil dalam UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi khususnya di Bab IV yang terdiri 36 pasal.

"Meski ketentuan dalam bab tersebut yang diikuti dengan berbagai peraturan turunannya telah jelas dan bisa dimengerti dengan baik oleh para pelaku bisnis di bidang telekomunikasi, ternyata bagi aparat penegak hukum dianggap tidak jelas. Sehingga, sering terjadi penafsiran yang berbeda. Bukti penfasiran berbeda itu terlihat dalam kasus IM2,” tegasnya.

Sebelumnya, pada RDPU yang berlangsung pada 22 Januari 2013, Mastel juga pernah menyampaikan masalah penggunaan jaringan bergeral Indosat oleh jasa internet IM2 namun dituduh aparat penegak hukum bahwa IM2 telah menggunakan pita frekuensi 2,1 MHz yang dialokasikan kepada Indosat.

Padahal, kata Setyanto, Menkominfo sebagai penanggung jawab di bidang telekomunikasi menyatakan kerjasama tersebut sah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

“Kasus IM2 ini sangat khas. Kawan-kawan dituduh memakai frekuensi padahal yang dipakai adalah jaringan. Pada waktu itu dihadapan hakim dan jaksa sudah kami sampaikan secara detil. Bahkan dengan penjelasan ini pula Menteri Tifatul berani pasang badan karena memang tidak ada pelanggaran yang dilakukan IM2,” ujarnya.

Kekhasan lainnya, lanjut Setyanto terkait perhitungan kerugian negara hasil audit BPKP. Dalam kasus Tipikor, putusan MA menetapkan adanya kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun sehingga Indar divonis 8 tahun penjara dan IM2 dihukum harus membayar ganti rugi sebesar Rp 1,3 triliun.

Namun, dalam ranah TUN, MA justru memperkuat putusan PTUN Jakarta pada tingkat kasasi yang memutuskan bahwa audit BPKP yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun tidak sah dan memerintahkan BPKP untuk mencabutnya.

“Sungguh ironis, jika Indar dihukum berdasarkan bukti yang tidak sah dan IM2 pun dihukum sebelum didakwa dan diadili. Seharusnya, jika tidak ada kerugian negara Indar bisa bebas demi hukum. Kami mohon agar kasus ini mendapat perhatian dari anggota Komisi I,” tegasnya.

Keputusan PTUN ini akan dijadikan sebagai alat bukti baru dalam mengajukan proses hukum Peninjauan Kembali (PK). Namun, sampai saat ini masih terhambat karena salinan putusan kasasi MA belum diterima pihak Indar meski sudah diminta sejak pertengahan Oktober 2014.

“Terkait kasus ini, kami memohon dukungan Komisi I DPR dalam rencana pengajuan PK tersebut agar mantan Dirut IM2 Indar Atmanto dapat memperoleh kebebasannya kembali. Kami juga memohon agar Komisi I untuk menolak segala bentuk kriminalisasi di bidang TIK.”

Setyanto menggarisbawahi bahwa informasi yang disampaikan Mastel ini agar menjadi perhatian anggota Komisi I DPR terutama saat menyusun dan mengesahkan berbagai undang-undang jangan sampai UU tersebut disalah-tafsirkan oleh pihak-pihak tertentu.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5515 seconds (0.1#10.140)