PPN10% Menjadi Ancaman Pebisnis Online
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah melalui Dirjend Pajak sedang 'menggodok' aturan baru tentang PPN 10% dari setiap transaksi penyelengara belanja online. Para pengamat dan pakar e-commerce menilai, ini akan berpengaruh negatif dan merugikan para pebisnis online karena terkena double take.
Ini akan menimbulkan kelesuan di bisnis online. Imbasnya konsumen tidak lagi melirik bisnis online karena variable cost yang terlalu besar untuk pajak.
”Dikawatirkan aturannya tumpang tindih sehingga pebisnis online dirugikan karena terkena double take tadi,” ungkap Prof. DR. Agung Harsoyo, pakar e-commerce dari Institute Teknologi Bandung (ITB).
Agung memberi contoh, ketika orang beli ponsel di Roxy Mas dengan harga Rp1 juta, ponsel tersebut sudah ada PPN-nya. “Nah, jika orang beli online dikenakan lagi 10%, maka barang tersebut akan lebih mahal dan tidak kompetitif,” tegas Agung seperti siaran pers diterima Sindonews, Selasa (26/8/2014).
Sejatinya, lanjut Agung pengenaan pajak dilakukan agar bisnis lebih rapih, lebih tertata dan lebih kompetitif. Namun, jika aturan tersebut menimbulkan kondisi sebaliknya, maka harus di eveluasi dan jangan diterapkan.
Di Amerika Serikat saja pengenaan pajak atas transaksi online akan dilakukan pada 2020 nanti setelah sistem pembayaran nasional mereka berjalan.
Itu mengaca pada sistem pajak dikelola oleh negara maju yang serba transparan dan sudah terintegrasi sistemnya. Begitu juga di Perancis, pemerintah memberi fasilitas, pembinaan, stimulus agar terciptanya lapangan kerja di sektor e-commerce.
“Nah, seyogyanya kita belajar dari Mereka. Pemerintahan di negara tersebut memiliki andil untuk memajukan bisnis online agar perekonomian rakyatnya stabil dan mengalami pertumbuhan. Di sini baru mulai tumbuh sudah akan dikenakan beragam aturan yang tidak kondusif dan konstruktif. Kasih kesempatan dulu mereka untuk berkembang, kalau bisa diberi insentif,” ujar Agung.
Yang harus dilakukan sekarang ini, lanjut dosen ITB itu, segenap komponen termasuk pemerintah harus mendorong lebih agresif lagi terhadap bisnis online yang sekarang tumbuh di masayarakat. ”Jadikan e-commerce sebagai salah satu fondasi sistem ekonomi kerakyatan,” ungkapnya.
Karena, lanjutnya tidak semua yang memiliki bisnis online datang dari perusahaan besar, melainkan banyak pula yang dikelola oleh UKM, perorangan dengan modal yang pas-pasan.
“Mestinya arah kebijakan itu memiliki visi yang revolusioner bahwa dengan bisnis online masyarakat Indonesia mampu memiliki kemandirian eknonomi. Sebagaimana yang dicetuskan oleh presiden terpilih kita, Bapak Joko Widodo,” pungkas Agung.
Ini akan menimbulkan kelesuan di bisnis online. Imbasnya konsumen tidak lagi melirik bisnis online karena variable cost yang terlalu besar untuk pajak.
”Dikawatirkan aturannya tumpang tindih sehingga pebisnis online dirugikan karena terkena double take tadi,” ungkap Prof. DR. Agung Harsoyo, pakar e-commerce dari Institute Teknologi Bandung (ITB).
Agung memberi contoh, ketika orang beli ponsel di Roxy Mas dengan harga Rp1 juta, ponsel tersebut sudah ada PPN-nya. “Nah, jika orang beli online dikenakan lagi 10%, maka barang tersebut akan lebih mahal dan tidak kompetitif,” tegas Agung seperti siaran pers diterima Sindonews, Selasa (26/8/2014).
Sejatinya, lanjut Agung pengenaan pajak dilakukan agar bisnis lebih rapih, lebih tertata dan lebih kompetitif. Namun, jika aturan tersebut menimbulkan kondisi sebaliknya, maka harus di eveluasi dan jangan diterapkan.
Di Amerika Serikat saja pengenaan pajak atas transaksi online akan dilakukan pada 2020 nanti setelah sistem pembayaran nasional mereka berjalan.
Itu mengaca pada sistem pajak dikelola oleh negara maju yang serba transparan dan sudah terintegrasi sistemnya. Begitu juga di Perancis, pemerintah memberi fasilitas, pembinaan, stimulus agar terciptanya lapangan kerja di sektor e-commerce.
“Nah, seyogyanya kita belajar dari Mereka. Pemerintahan di negara tersebut memiliki andil untuk memajukan bisnis online agar perekonomian rakyatnya stabil dan mengalami pertumbuhan. Di sini baru mulai tumbuh sudah akan dikenakan beragam aturan yang tidak kondusif dan konstruktif. Kasih kesempatan dulu mereka untuk berkembang, kalau bisa diberi insentif,” ujar Agung.
Yang harus dilakukan sekarang ini, lanjut dosen ITB itu, segenap komponen termasuk pemerintah harus mendorong lebih agresif lagi terhadap bisnis online yang sekarang tumbuh di masayarakat. ”Jadikan e-commerce sebagai salah satu fondasi sistem ekonomi kerakyatan,” ungkapnya.
Karena, lanjutnya tidak semua yang memiliki bisnis online datang dari perusahaan besar, melainkan banyak pula yang dikelola oleh UKM, perorangan dengan modal yang pas-pasan.
“Mestinya arah kebijakan itu memiliki visi yang revolusioner bahwa dengan bisnis online masyarakat Indonesia mampu memiliki kemandirian eknonomi. Sebagaimana yang dicetuskan oleh presiden terpilih kita, Bapak Joko Widodo,” pungkas Agung.
(dol)