Aplikasi Flokq Tawarkan Co-living untuk Menjawab Tantangan Wabah Corona

Senin, 06 April 2020 - 18:04 WIB
Aplikasi Flokq Tawarkan...
Aplikasi Flokq Tawarkan Co-living untuk Menjawab Tantangan Wabah Corona
A A A
JAKARTA - Sejalan kian merebaknya pandemik COVID-19, makin banyak orang yang memutuskan tinggal di dalam rumah untuk bantu memutus rantai persebarannya. Para pekerja pun didorong bekerja dari rumah.

Berdasarkan data Pemprov DKI Jakarta, dari keseluruhan pekerja berusia dewasa yang berdomisili di Jakarta, dua juta di antaranya masih berstatus lajang.

Karena kebanyakan pekerja lajang di Jakarta tinggal di kost sendirian, mereka mulai mengalami dampak dari isolasi sosial yang gencar diberlakukan saat ini. Ann, contohnya. Pekerja lajang yang tinggal di kost di Senayan, Jakarta, itu menceritakan bagaimana dia merasa kebosanan di kamar kost-nya.

Aku bosan melihat dinding yang sama. Hanya saya sendiri di dalam ruangan dengan layar dan lemari pakaian saya, tidak ada banyak hal untuk dilihat atau dilakukan,” kata Ann.

Pengalaman seperi itu tidak hanya dialami oleh Ann. Banyak cerita curahan kebosanan para penghuni kost lainnya yang bertebaran di platform media sosial.

Pengguna @afathaaar, misalnya, yang mengekspresikan betapa bosannya tinggal di kost selama berminggu-minggu akibat keputusan kantornya memberlakukan kerja dari rumah sampai pekan kedua bulan April.

Dalam masa awal karantina, masalah pokok semasa hidup sendiri adalah ketersediaan dari satu kebutuhan, makanan. Memesan secara take-out mungkin bukan ide yang baik secara finansial. Jadi, apa yang dapat Anda lakukan sebagai milenial lajang yang hidup sendirian? Untuk beberapa orang yang tinggal sendirian di apartemen, memasak sendiri merupakan opsi yang pertama; terjangkau dan aman karena dilakukan di ruang sendiri.

Namun bagi mereka yang tinggal di kost, memasak di dapur umum, apalagi dengan makanan yang disimpan di dalam kulkas bersama dengan makanan warga penghuni lainnya bisa jadi mengkhawatirkan. Sementara itu, mendapatkan makanan dari toko di jalan atau warteg pun terasa semakin tidak aman di masa-masa seperti ini.

Di luar itu, terdapat pula pilihan untuk mempelajari cara membuat makanan mudah saji yang disiapkan dengan penanak nasi di ruang kost. Namun pilihan tersebut pastilah bukan yang paling ideal.

Salah satu penetap kos lainnya, Rizal, turut mengungkapkan bahwa dia merasa semakin tidak aman untuk keluar mencari makanan sehari-hari di warteg terdekat. Sebab itu akan memaparkan dirinya ke lingkungan yang penuh orang.

"Saya tidak terlalu khawatir tentang orang-orang di kost saya, tapi saya khawatir dengan orang yang tinggal di lingkungan itu. Mereka tampaknya tidak tahu tentang virus," katanya.

Layanan pengiriman makanan pun tidak bisa dibilang murah, dan memasak di dapur umum kost-nya juga tidak nyaman ataupun higienis. Sehingga memaksa Rizal untuk terus membeli makanan di luar.

Kekhawatiran akan kurangnya perhatian serta tindakan untuk menjaga kesehatan sesama penghuni kost juga turut dikemukakan oleh Jule. Ia yang tinggal di sebuah kost di Kuningan, menyatakan keprihatinannya akibat permukaan berbagai perabotan di kost-nya yang tidak dibersihkan. "Seharusnya ada pembantu yang membersihkan kost setiap saat, tapi dia belum membersihkan apa pun dalam dua minggu. Saya tidak tahu siapa yang datang dan pergi di kost ini, tidak ada jaminan bahwa teman kost saya bersih,” ucapnya khawatir.

Namun lain halnya ketika yang ditanya adalah mereka yang menggunakan aplikasi Flokq. “Saya memasak. Kadang saya berbagi makanan dengan teman flat saya,” ujar Eko.

Dia menyebutkan bahwa operator co-living-nya, Flokq, membersihkan apartemennya setiap pekan. Bahkan di masa pandemik meningkatkan langkah-langkah keselamatan dan kesehatan penghuninya.

Malti juga menjelaskan pengalaman #stayathome-nya dengan nada yang sama. Sebagai pembuat roti paruh waktu, dia terbiasa memasak di apartemennya bersama. "Cukup banyak untuk saya," katanya.

Selain masalah makanan, masalah krusial lainya adalah ketersendirian di ruangan sempit. Pada tahap selanjutnya, Anda akan melawan kebosanan melihat dinding yang sama di kamar secara terus-menerus. Sebagian kecil milenial yang tinggal sendirian di apartemen non-studio nan luas mungkin saja dapat berjalan-jalan di antara kamar-kamar di dalamnya, tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi mayoritas orang yang tinggal di apartemen studio atau pun kost.

Pergi keluar, bahkan ke ruang tamu komunal yang tersedia di beberapa kost, berpotensi menaikkan kemungkinan kontak sosial dengan orang-orang yang tidak pasti tingkat higienitasnya.

Semakin banyak hari yang dihabiskan di dalam ruangan, tentunya Anda akan semakin merasa tidak sehat juga. Akan muncul keinginan untuk kembali merasakan sinar matahari dan udara segar. Beberapa orang yang tinggal di apartemen mungkin saja dapat menikmati sinar matahari yang menembus jendela ruangan lantai teratas mereka, atau bahkan pergi ke balkon untuk mencari udara segar.

Namun, keuntungan seperti itu kemungkinan besar tidak dapat dirasakan oleh mereka yang tinggal di kost, khususnya di Jakarta yang berpenduduk padat. Beberapa kost memang memiliki jendela yang menghadap ke lingkungan atau taman, tapi beberapa hanya memiliki jendela yang menghadap ke lorong sempit. Attau lebih buruk lagi, bahkan tidak memiliki jendela sama sekali. Bagi mereka yang tinggal di kost, memenuhi keinginan akan udara segar pastinya akan menjadi suatu tantangan.

Yang terakhir, interaksi sosial fisik pada saat seperti ini juga jadi sesuatu yang begitu dirindukan, meskipun interaksi sosial secara digital sudah menjadi suatu keniscayaan. Melihat teman dan rekan kerja via Skype, Hangouts atau Zoom merupakan norma selama pandemik, dan banyak yang telah belajar menerima norma baru itu.

Namun, tetapi tidak ada yang lebih baik dari melihat seseorang secara langsung. Bagi sebagian orang yang tinggal di kost, berteman dengan sesama penghuni kost bisa menjadi pilihan menarik. Namun, hal tersebut dapat sedikit terganggu akibat tataan kamar kost yang diatur layaknya kamar hotel, tidak mendorong interaksi sosial.

Pilihan umum hunian berupa apartemen maupun kost bagi mereka yang tinggal sendirian di Jakarta terbukti berpotensi memunculkan masalah, khususnya pada saat di mana pembatasan kontak sosial sedang gencar-gencarnya diberlakukan. Tinggal di apartemen tentunya menawarkan lebih banyak keunggulan dari berbagai aspek, namun tidak terjangkau bagi semua orang akibat adanya pembayaran di muka serta biaya sewa lebih tinggi.

Apalagi tinggal di apartemen juga tidak menawarkan solusi bagi isu kesepian. Sedangkan, di sisi lain, kost sudah menjadi pilihan standar bagi masyarakat luas dalam waktu lama.

CEO Flokq, Anand Janardhanan, dalam keterangan resminya mengatakan, pergi dari kost saat ini untuk pindah ke apartemen bersama beberapa teman tentunya bukanlah hal mudah. Namun, hal tersebut tidak lagi menjadi masalah dengan bermunculannya beberapa operator co-living baru belakangan ini; salah satunya Flokq.

"Berdasarkan pembicaraan dengan beberapa anggota Flokq, mereka merasa bersyukur memutuskan pindah ke hunian bersama hanya beberapa saat sebelum pandemik Corona dimulai. Salah satu dari mereka adalah Malti, yang beberapa bulan lalu pindah ke hunian co-living yang disediakan Flokq, dan saat ini sedang dalam masa karantina dengan dua teman flatnya," tutur Anand.

Anand mengutarakan, Malti dan teman-teman flatnya tersebut telah sepenuhnya bekerja dari rumah selama tiga pekan terakhir, sehingga mereka merasa aman akibat jaminan tidak adanya salah seorang dari mereka yang mengangkut virus dari luar. Saat ini, setiap malam mereka rutin bermain kartu dan melakukan yoga bersama.

"Apa yang Malti, Eko, Rulih, dan Davin sedang lakukan tentunya sejalan dengan apa yang disarankan oleh para ilmuwan. Meski tengah dihadapkan dengan konsekuensi tak terhindarkan berupa rasa kesepian, co-living bersama beberapa penghuni lain bisa menjadi pilihan yang ideal. Di masa krisis seperti ini, ditemani oleh orang lain di sekitar rumah, bahkan dalam jarak yang aman, dapat menghadirkan rasa persatuan serta dorongan yang lebih," pungkas Anand.
(mim)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0977 seconds (0.1#10.140)