Pemerintah Diminta Waspadai Agresifitas OTT Asing Bangun Kabel Laut
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk mewaspadai agresifitas pemain Over The Top (OTT) asing membangun infrastruktur Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) dan data center di Indonesia karena ada potensi kerugian pendapatan dan ancaman bagi ketahanan nasional.
“Pemerintah jangan senang dulu dengar kabar jika ada OTT asing seperti Facebook dan Google ingin bangun SKKL langsung dari Amerika Serikat ke Indonesia. Jika dibiarkan tanpa mengikuti aturan yang ada, kerugian dari sisi ekonomi dan ketahanan nasional bisa terjadi, “ papar Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi di Jakarta, Senin (18/11).
Diungkapkannya, pilihan pemain raksasa seperti Facebook, Google, atau Amazon Web Service (AWS) membuka konektifitas langsung ke Indonesia tak bisa dilepaskan dari keinginan OTT-OTT itu untuk memiliki kontrol penuh atas jaringan yang dibangunnya secara end to end.
“OTT untuk mendukung bisnis utamanya yaitu social media ads dan cloud akan membangun data center dan point of presence di sebuah negara. Untuk mendukung dua infrastruktur itu mereka akan bangun data center agar punya kontrol penuh secara end to end. Kalau sudah gini lupakan saja itu impian Menkeu Sri Mulyani ingin nagih pajak ke OTT asing, wong dia kuasai jaringan end to end,” katanya.
Menurutnya, pembangunan jaringan secara end to end oleh OTT asing ini sebagai salah satu upaya menghindari pengurusan ijin/lisensi di negara setempat guna menghindari kewajiban pajak dan regulatory cost (Biaya Hak Penyelenggaran/BHP Telekomunikasi dan Universal Service Obligation/USO). Selain itu, langkah ini juga sebagai upaya menghindari kewajiban terkait security seperti lawful intercept.
Biasanya OTT asing hanya menggandeng pemain lokal yang mengantongi lisensi jaringan tertutup agar SKKL yang dimilikinya memiliki landing station di negara tujuan.
“Pemain lokal melihat itu sebagai peluang karena bisa jual core fiber optic, tapi tanpa sadar sebenarnya negara rugi dalam bentuk lain. Keuntungan bagi mitra lokal yang digandeng OTT asing agar SKKL-nya bisa masuk Indonesia itu tak sebanding dengan kerugian negara seperti paparan di atas serta bagi pemain SKKL lokal yang punya jaringan internasional,” ulasnya.
Hal ini karena OTT asing juga menjual kapasitas SKKL-nya ke operator telekomunikasi global dalam bentuk dark fiber untuk trafik ke Asia Tenggara atau Asia umumnya.
“Jalur SKKL via Indonesia ini sekarang favorit ke Amerika Serikat karena rute Laut China Selatan rawan isu politik dan gempa bawah laut,” jelasnya.
Dipaparkannya, jika OTT asing ikut menjual kapasitas SKKL-nya langsung di pasar internasional untuk trafik dari/ke Indonesia tentu negara kembali rugi karena transaksi berlangsung di luar sehingga potensi pajak dan regulatory cost hilang, selain isu ketahanan nasional dimana Indonesia menjadi terbuka di dunia siber.
“Dampak lainnya pemain SKKL lokal hilang competitivenes advantage karena secara price tak mampu bersaing mencari pasar dari operator global. Gimana mau bersaing kalau struktur cost saja sudah kalah,” tukasnya.
Heru menyarankan untuk mencegah fenomena “agresifnya” OTT asing “menyerang” Indonesia secara platform dan infrastruktur ini Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementrian Pertahanan (Kemhan) duduk bersama agar negara tidak semakin dirugikan.
“Masa depan kan era perang Informasi, yang harus dikuasai itu infrastrukturnya. Jika megara hadir baru bisa bicara membangun ketahanan siber yang kuat,” pungkasnya.
“Pemerintah jangan senang dulu dengar kabar jika ada OTT asing seperti Facebook dan Google ingin bangun SKKL langsung dari Amerika Serikat ke Indonesia. Jika dibiarkan tanpa mengikuti aturan yang ada, kerugian dari sisi ekonomi dan ketahanan nasional bisa terjadi, “ papar Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi di Jakarta, Senin (18/11).
Diungkapkannya, pilihan pemain raksasa seperti Facebook, Google, atau Amazon Web Service (AWS) membuka konektifitas langsung ke Indonesia tak bisa dilepaskan dari keinginan OTT-OTT itu untuk memiliki kontrol penuh atas jaringan yang dibangunnya secara end to end.
“OTT untuk mendukung bisnis utamanya yaitu social media ads dan cloud akan membangun data center dan point of presence di sebuah negara. Untuk mendukung dua infrastruktur itu mereka akan bangun data center agar punya kontrol penuh secara end to end. Kalau sudah gini lupakan saja itu impian Menkeu Sri Mulyani ingin nagih pajak ke OTT asing, wong dia kuasai jaringan end to end,” katanya.
Menurutnya, pembangunan jaringan secara end to end oleh OTT asing ini sebagai salah satu upaya menghindari pengurusan ijin/lisensi di negara setempat guna menghindari kewajiban pajak dan regulatory cost (Biaya Hak Penyelenggaran/BHP Telekomunikasi dan Universal Service Obligation/USO). Selain itu, langkah ini juga sebagai upaya menghindari kewajiban terkait security seperti lawful intercept.
Biasanya OTT asing hanya menggandeng pemain lokal yang mengantongi lisensi jaringan tertutup agar SKKL yang dimilikinya memiliki landing station di negara tujuan.
“Pemain lokal melihat itu sebagai peluang karena bisa jual core fiber optic, tapi tanpa sadar sebenarnya negara rugi dalam bentuk lain. Keuntungan bagi mitra lokal yang digandeng OTT asing agar SKKL-nya bisa masuk Indonesia itu tak sebanding dengan kerugian negara seperti paparan di atas serta bagi pemain SKKL lokal yang punya jaringan internasional,” ulasnya.
Hal ini karena OTT asing juga menjual kapasitas SKKL-nya ke operator telekomunikasi global dalam bentuk dark fiber untuk trafik ke Asia Tenggara atau Asia umumnya.
“Jalur SKKL via Indonesia ini sekarang favorit ke Amerika Serikat karena rute Laut China Selatan rawan isu politik dan gempa bawah laut,” jelasnya.
Dipaparkannya, jika OTT asing ikut menjual kapasitas SKKL-nya langsung di pasar internasional untuk trafik dari/ke Indonesia tentu negara kembali rugi karena transaksi berlangsung di luar sehingga potensi pajak dan regulatory cost hilang, selain isu ketahanan nasional dimana Indonesia menjadi terbuka di dunia siber.
“Dampak lainnya pemain SKKL lokal hilang competitivenes advantage karena secara price tak mampu bersaing mencari pasar dari operator global. Gimana mau bersaing kalau struktur cost saja sudah kalah,” tukasnya.
Heru menyarankan untuk mencegah fenomena “agresifnya” OTT asing “menyerang” Indonesia secara platform dan infrastruktur ini Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementrian Pertahanan (Kemhan) duduk bersama agar negara tidak semakin dirugikan.
“Masa depan kan era perang Informasi, yang harus dikuasai itu infrastrukturnya. Jika megara hadir baru bisa bicara membangun ketahanan siber yang kuat,” pungkasnya.
(wbs)