Amartha Tawarkan Fitur Baru ke Peminjam dan Pemberi Pinjaman
A
A
A
JAKARTA - Berangkat dari semangat membantu peminjam (borrower) dan mempermudah pemberi pinjaman (lender), Amartha berencana mengeluarkan empat fitur baru. Fitur-fitur yang belum diberikan nama ini rencananya bakal tersedia di aplikasi dan situs resminya.
Perusahaan financial technology (fintech) peer to peer yang fokus kepada peminjam dari kalangan ibu-ibu dan di pedesaan ini menjalin kerja sama dengan pihak ketiga dalam pengadaan fitur-fitur teranyarnya tersebut.
Fitur pertama adalah membantu pemberi pinjaman mengoptimalkan investasi mereka. Peminjam di Amartha diberi jangka waktu satu tahun untuk pelunasan dan cicilannya dibayarkan setiap sepekan sekali.
Tetapi sering kali dana yang disalurkan oleh lender mengendap karena menunggu datangnya borrower atau menunggu pelunasan. Maka dari itu, Amartha menawarkan kepada lender agar dana yang mengendap itu diputar ke sektor lain seperti reksadana.
Tentu perputaran dana tersebut atas persetujuan lender. Mereka tinggal memilih tingkat risiko yang akan diambil. “Misalnya ada orang pinjam Rp3 juta, lalu bayar cicilannya Rp78.000 per minggu. Daripada dana menganggur Rp78.000, lebih baik masuk reksadana dan bisa kerja sendiri uangnya,” kata Hadi Wenas, Chief Commercial Officer Amartha, menganalogikan skema fitur ini di Jakarta, Rabu (21/10/2019).
Fitur kedua adalah membantu peminjam mengurangi biaya. Wenas mengatakan, dalam observasi yang dilakukan perusahaan, peminjam yang dibantu penghasilannya belum tentu kesejahteraannya naik karena pengeluaran yang berlebih.
Jadi Amartha menjembatani antara peminjam yang membutuhkan barang dengan pedagang retail. Tujuannya agar kebutuhan yang dibeli oleh peminjam lebih murah. Produk-produk yang ditawarkan juga disesuaikan dengan segmen borrower.
“Tapi belinya borongan. Misalnya mi instan, kalau beli satuan kan mahal. Kalau borongan lebih murah. Walaupun pada kenyataannya ada yang dijual lagi,” ujar mantan CEO MatahariMall.com itu.
Kemudian fitur ketiga yakni membantu peminjam selain keuangan. Setiap tahunnya Amartha bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) untuk melakukan studi sosial.
Dari hasil studi tersebut, Amartha menemukan fakta bahwa tingkat stunting di Indonesia sangat tinggi. Riset menyebutkan 1 dari 3 anak di Indonesia terkena stunting.
Indonesia sendiri menduduki posisi ketiga dalam masalah ini. Selain masalah gizi, penyebab lainnya adalah ketersediaan air bersih dan buang air besar sembarangan (BABS). Karena itu, Amartha menggandeng Rumah Zakat untuk melakukan donasi kepada peminjam yang membutuhkan di bidang sanitasi.
Perusahaan akan mendirikan toilet umum dan menyediakan air bersih di desa-desa yang membutuhkan. “Kami fokus ke situ dulu. Kami juga lakukan pembinaan untuk mengubah perilaku masyarakat yang masih BABS,” jelas Wenas.
Fitur terakhir membantu tim di lapangan atau membantu peminjaman lebih cepat. Artinya, survei yang dilakukan oleh Amartha bisa menggunakan aplikasi.
Dalam fitur ini terdapat sidik jari digital, tanda tangan digital, dan banyak lagi. “Kerja tim lapangan lebih efisien. Jadi kemungkinan manipulasi hasil survei lebih kecil dan lebih cepat,” imbuhnya.
Saat ini keempat fitur tersebut belum tersedia. Amartha sendiri tidak bisa memastikan kapan fitur itu akan diluncurkan. Yang jelas, fitur pertama rencananya tersedia di akhir 2019 dan fitur lainnya menyusul tahun depan.
Amartha sendiri sudah berdiri sejak 2010 sebagai koperasi yang memberi pinjaman. Baru pada 2016 perusahaan mulai bertransisi menjadi fintech. Sejak berdiri, Amartha sudah menyalurkan dana hingga Rp1,47 triliun. Angka tersebut hampir menyentuh target tahun ini sebesar Rp1,5 triliun.
Untuk meminjam dana di Amartha diharuskan membentuk kelompok yang terdiri dari 15-25 orang. Karena perusahaan memiliki sistem Tanggung Renteng, yang artinya ketika salah satu orang dari kelompok tersebut kesulitan membayar, anggota yang lain diharuskan membantu. “Makanya NPL (non performing loan) kami rendah. Per hari ini hanya 0,83%,” pungkas Wenas.
Perusahaan financial technology (fintech) peer to peer yang fokus kepada peminjam dari kalangan ibu-ibu dan di pedesaan ini menjalin kerja sama dengan pihak ketiga dalam pengadaan fitur-fitur teranyarnya tersebut.
Fitur pertama adalah membantu pemberi pinjaman mengoptimalkan investasi mereka. Peminjam di Amartha diberi jangka waktu satu tahun untuk pelunasan dan cicilannya dibayarkan setiap sepekan sekali.
Tetapi sering kali dana yang disalurkan oleh lender mengendap karena menunggu datangnya borrower atau menunggu pelunasan. Maka dari itu, Amartha menawarkan kepada lender agar dana yang mengendap itu diputar ke sektor lain seperti reksadana.
Tentu perputaran dana tersebut atas persetujuan lender. Mereka tinggal memilih tingkat risiko yang akan diambil. “Misalnya ada orang pinjam Rp3 juta, lalu bayar cicilannya Rp78.000 per minggu. Daripada dana menganggur Rp78.000, lebih baik masuk reksadana dan bisa kerja sendiri uangnya,” kata Hadi Wenas, Chief Commercial Officer Amartha, menganalogikan skema fitur ini di Jakarta, Rabu (21/10/2019).
Fitur kedua adalah membantu peminjam mengurangi biaya. Wenas mengatakan, dalam observasi yang dilakukan perusahaan, peminjam yang dibantu penghasilannya belum tentu kesejahteraannya naik karena pengeluaran yang berlebih.
Jadi Amartha menjembatani antara peminjam yang membutuhkan barang dengan pedagang retail. Tujuannya agar kebutuhan yang dibeli oleh peminjam lebih murah. Produk-produk yang ditawarkan juga disesuaikan dengan segmen borrower.
“Tapi belinya borongan. Misalnya mi instan, kalau beli satuan kan mahal. Kalau borongan lebih murah. Walaupun pada kenyataannya ada yang dijual lagi,” ujar mantan CEO MatahariMall.com itu.
Kemudian fitur ketiga yakni membantu peminjam selain keuangan. Setiap tahunnya Amartha bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) untuk melakukan studi sosial.
Dari hasil studi tersebut, Amartha menemukan fakta bahwa tingkat stunting di Indonesia sangat tinggi. Riset menyebutkan 1 dari 3 anak di Indonesia terkena stunting.
Indonesia sendiri menduduki posisi ketiga dalam masalah ini. Selain masalah gizi, penyebab lainnya adalah ketersediaan air bersih dan buang air besar sembarangan (BABS). Karena itu, Amartha menggandeng Rumah Zakat untuk melakukan donasi kepada peminjam yang membutuhkan di bidang sanitasi.
Perusahaan akan mendirikan toilet umum dan menyediakan air bersih di desa-desa yang membutuhkan. “Kami fokus ke situ dulu. Kami juga lakukan pembinaan untuk mengubah perilaku masyarakat yang masih BABS,” jelas Wenas.
Fitur terakhir membantu tim di lapangan atau membantu peminjaman lebih cepat. Artinya, survei yang dilakukan oleh Amartha bisa menggunakan aplikasi.
Dalam fitur ini terdapat sidik jari digital, tanda tangan digital, dan banyak lagi. “Kerja tim lapangan lebih efisien. Jadi kemungkinan manipulasi hasil survei lebih kecil dan lebih cepat,” imbuhnya.
Saat ini keempat fitur tersebut belum tersedia. Amartha sendiri tidak bisa memastikan kapan fitur itu akan diluncurkan. Yang jelas, fitur pertama rencananya tersedia di akhir 2019 dan fitur lainnya menyusul tahun depan.
Amartha sendiri sudah berdiri sejak 2010 sebagai koperasi yang memberi pinjaman. Baru pada 2016 perusahaan mulai bertransisi menjadi fintech. Sejak berdiri, Amartha sudah menyalurkan dana hingga Rp1,47 triliun. Angka tersebut hampir menyentuh target tahun ini sebesar Rp1,5 triliun.
Untuk meminjam dana di Amartha diharuskan membentuk kelompok yang terdiri dari 15-25 orang. Karena perusahaan memiliki sistem Tanggung Renteng, yang artinya ketika salah satu orang dari kelompok tersebut kesulitan membayar, anggota yang lain diharuskan membantu. “Makanya NPL (non performing loan) kami rendah. Per hari ini hanya 0,83%,” pungkas Wenas.
(mim)