Pembatasan Akses Media Sosial saat Demonstrasi Anarkis Dinilai Tepat
A
A
A
JAKARTA - Keputusan pemerintah membatasi akses sejumlah fitur pada media sosial di sejumlah daerah merupakan keputusan tepat. Alasannya konten hoax dikhawatirkan membanjiri media sosial. Terlebih setelah terjadinya kericuhan antara aparat dengan massa pada 22 Mei, sosmed penuh informasi tak benar.
Staf Pengajar Departemen Filsafat Universitas Indonesia (UI), Donny Adian Gahral berpendapat, langkah tegas pemerintah tersebut sudah tepat karena kebebasan berpendapat dalam hak asasi manusia (HAM) tidak mutlak. "Kebebasan berpendapat yang menghasut, memecah belah, memanipulasi informasi bisa dibatasi apalagi saat situasi genting di mana keselamatan bangsa dan negara menjadi taruhannya," kata Donny di Jakarta.
Agar tercipta masyarakat yang sehat dan kritis, Donny mengajak pengguna medsos agar tidak mudah menyebarkan informasi dari sumber yang meragukan. "Agar tidak termakan dengan propaganda agitasi yang tidak masuk akal," sebutnya.
Sementara itu, pemerhati komunikasi, Fetty Azizah, menilai, langkah pemerintah mengambil keputusan tegas tersebut layak diapresiasi. Menurut dia, di negara demokrasi seperti Indonesia tanpa ketertiban hanya akan menghasilkan sikap anarki.
"Marak beredarnya video, foto, dan konten lain di sosmed pada kenyataannya tidak bisa dijamin oleh penyedia platform, seperti Instagram, Facebook, atau WhatsApp, dan lainnya," kata Fetty.
Dicontohkannya, di beberapa negara maju seperti Jerman dan Singapura sudah mengatur penggunaan sosmed. Bagi pengguna yang melanggar peraturan akan dikenakan sanksi hukum.
"Negara harus membuat aturan yang membatasi konten sosmed semata-mata untuk menciptakan ketertiban (order) di sosmed. Jadi untuk alasan menjaga ketertiban umum, memang diperlukan pembatasan-pembatasan," harapnya.
Fetty menegaskan bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat bukan berarti tanpa aturan. "Demokrasi hanya bisa tegak bila ada rule of law yang menjadi rambu-rambu bagi masyarakat warga," tukasnya.
Merujuk data Kominfo pada April 2019, ditemukan sebanyak 486 hoax. Dari jumlah itu sebanyak 209 termasuk dalam kategori hoax politik.
Sepanjang Agustus 2018-April 2019 total ditemukan 1.731 hoax. Hoax politik yang beredar antara lain berupa kabar bohong yang menyerang capres-cawapres, parpol peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Staf Pengajar Departemen Filsafat Universitas Indonesia (UI), Donny Adian Gahral berpendapat, langkah tegas pemerintah tersebut sudah tepat karena kebebasan berpendapat dalam hak asasi manusia (HAM) tidak mutlak. "Kebebasan berpendapat yang menghasut, memecah belah, memanipulasi informasi bisa dibatasi apalagi saat situasi genting di mana keselamatan bangsa dan negara menjadi taruhannya," kata Donny di Jakarta.
Agar tercipta masyarakat yang sehat dan kritis, Donny mengajak pengguna medsos agar tidak mudah menyebarkan informasi dari sumber yang meragukan. "Agar tidak termakan dengan propaganda agitasi yang tidak masuk akal," sebutnya.
Sementara itu, pemerhati komunikasi, Fetty Azizah, menilai, langkah pemerintah mengambil keputusan tegas tersebut layak diapresiasi. Menurut dia, di negara demokrasi seperti Indonesia tanpa ketertiban hanya akan menghasilkan sikap anarki.
"Marak beredarnya video, foto, dan konten lain di sosmed pada kenyataannya tidak bisa dijamin oleh penyedia platform, seperti Instagram, Facebook, atau WhatsApp, dan lainnya," kata Fetty.
Dicontohkannya, di beberapa negara maju seperti Jerman dan Singapura sudah mengatur penggunaan sosmed. Bagi pengguna yang melanggar peraturan akan dikenakan sanksi hukum.
"Negara harus membuat aturan yang membatasi konten sosmed semata-mata untuk menciptakan ketertiban (order) di sosmed. Jadi untuk alasan menjaga ketertiban umum, memang diperlukan pembatasan-pembatasan," harapnya.
Fetty menegaskan bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat bukan berarti tanpa aturan. "Demokrasi hanya bisa tegak bila ada rule of law yang menjadi rambu-rambu bagi masyarakat warga," tukasnya.
Merujuk data Kominfo pada April 2019, ditemukan sebanyak 486 hoax. Dari jumlah itu sebanyak 209 termasuk dalam kategori hoax politik.
Sepanjang Agustus 2018-April 2019 total ditemukan 1.731 hoax. Hoax politik yang beredar antara lain berupa kabar bohong yang menyerang capres-cawapres, parpol peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
(mim)