Orang Tua Harus Tegas Batasi Anak Konsumsi Konten Video

Selasa, 21 Mei 2019 - 06:30 WIB
Orang Tua Harus Tegas Batasi Anak Konsumsi Konten Video
Orang Tua Harus Tegas Batasi Anak Konsumsi Konten Video
A A A
DEPOK - Peran orang tua sangat krusial dalam membendung pengaruh konten negatif terhadap anak dan remaja yang bertebaran di internet termasuk melalui aplikasi media sosial yang memiliki fitur berbagi video.

Di era digital saat ini anak-anak dan remaja sangat mudah mengakses aneka konten di media sosial. Sebagian orang tua sering meminjamkan bahkan memfasilitasi anak-anaknya gawai terutama smartphone dengan berbagai tujuan seperti untuk memudahkan komunikasi, belajar, hingga hiburan.

Berdasarkan hasil survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet terhadap anak-anak dan remaja cukup tinggi. “Pada anak-anak usia 5-9 tahun, 25,2% di antaranya sudah melek internet. Sebanyak 66,2% anak-anak usia 10-14 tahun di Indonesia juga sudah menjadi pengguna internet,” terang Sekretaris Jenderal APJII Henri Kasyfi Soemartono.

Pengguna internet di antara anak-anak dan remaja usia 15-19 tahun merupakan yang tertinggi yakni mencapai 91% (selengkapnya lihat infografis). Hasil survei APJII juga menunjukkan bahwa gawai yang paling banyak digunakan adalah smartphone. Di sisi lain, mayoritas pengguna internet di Indonesia paling sering mengakses film atau video melalui smartphone (35,3%).

Konten video bisa diakses di Facebook, Instagram, YouTube, dan aplikasi lain. Facebook merupakan media sosial yang paling sering diakses masyarakat Indonesia yaitu 50,7%, diikuti Instagram (17,8%), dan YouTube (15,1%).

Persoalannya, selain konten positif, banyak konten negatif di dunia maya yang dapat berdampak langsung terhadap perilaku manusia di dunia nyata. Anak-anak dan remaja paling rentan terpengaruh karena berada di usia yang secara psikologis belum begitu matang.

“Ini yang harus menjadi perhatian. Konten-konten berbahaya bukan hanya yang berbau pornografi, ajaran yang dilarang, dan kekerasan, tapi juga contoh-contoh perilaku menyimpang yang sekilas dianggap keren ketika disaksikan di media sosial karena viral. Anak-anak dan remaja cenderung mengikutinya lantaran lingkungan mereka menganggap itu keren,” ungkap sosiolog dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Sugeng Bayu Wahyono.

Perilaku menyimpang yang dimaksud antara lain aksi nekat atau ekstrem yang membahayakan keselamatan diri, prank atau ngerjain orang lain, aksi konyol supaya dianggap lucu, gaya hidup glamor, bertindak nyeleneh, berlebihan atau alay, hingga bersikap seperti banci.

Sugeng menyatakan, derasnya penetrasi internet membuat orang tua relatif sulit melarang anak-anaknya menggunakan gawai. Terlebih, saat ini orang tua pun tak bisa lepas dari gawai. Karena itu, hal yang paling memungkinkan dilakukan untuk mengantisipasi dampak negatif konten video berbahaya terhadap anak-anak dan remaja adalah membatasi penggunaan gawai sekaligus memberi pendampingan intensif agar generasi muda sehat berinternet.

“Dan, literasi media yang dilakukan harus komprehensif. Pendampingan itu bukan hanya melarang dan membatasi, tapi juga memberi pemahaman dan pengertian, juga memberi wawasan baru kepada anak-anak kita. Ujung tombaknya orang tua, baru institusi pendidikan dan media massa,” jelas Sugeng.

Hal lain yang tak kalah penting dalam literasi media, lanjut dia, adalah mendorong anak-anak dan remaja agar kembali gemar membaca. ”Karena budaya baca rendah, orang mudah membuat kesimpulan keliru. Membaca hanya sebagian sehingga menyerap dan mengolahnya pun sebagian. Jadi mudah termakan hoaks karena wawasan dan pemikirannya terbatas,” kata Sugeng.

Psikolog dari Universitas Pancasila Aully Grashinta memandang, tayangan video di media sosial bersifat aktif dan interaktif. Penonton di kesempatan lain bisa menjadi kreator, begitu juga sebaliknya. Sifat ini membuat kemungkinan anak-anak dan remaja mencontoh konten yang mereka tonton sangat besar. “Anak dan remaja paling mudah dan paling cepat meniru apa yang dilihat.

Di sini pentingnya pengawasan orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan anak. Selain panduan melalui dialog verbal, yang paling dibutuhkan dari orang tua adalah contoh. Visual,” ucapnya. Dia juga menekankan agar orang tua tidak mudah meminjamkan smartphone kepada anak dengan tujuan supaya si anak diam, tidak merecoki.

Parahnya, banyak orang tua tidak peduli konten apa yang dikonsumsi anak-anak mereka saat mengakses internet. “Saat itulah tanpa disadari sebenarnya orang tua sedang membuat ‘jurang yang dalam’ yang bisa menjerumuskan anak mereka,” sesal Shinta-sapaan Aully Grashinta. Shinta menyarankan agar orang tua membuat kesepakatan penggunaan gawai dengan anak-anak mereka.

Selain kesepakatan tentang pembatasan waktu, penting juga membatasi akses terhadap situs atau media sosial tertentu. Apakah pemerintah juga perlu mengatur pengawasan dan pembatasan konten berbagi video di media sosial? “Perlu sekali,” jawab Shinta. “Konten yang secara objektif dinilai berbahaya harus diblok.”

Diet Gawai


Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengilustrasikan pola asuh oleh orang tua modern di era milenial seperti setir yang dikendalikan pengemudi. Saat ini setir yang seharusnya dipegang orang tua setidaknya hingga anak-anak mereka lulus SMA justru lebih sering dilepas sejak anak-anak masih balita.

Salah satu contohnya adalah kebebasan luar biasa bagi anak-anak dalam menggunakan gawai, termasuk menonton film atau video. “Supaya aktivitas mereka tidak terganggu oleh anak dan abai memantau konten apa yang ditonton anaknya. Yang lebih parah, ada yang ingin dianggap sebagai orang tua keren dan gaul dengan memfasilitasi anaknya gawai sejak usia dini,” kata dosen vokasi UI ini.

Dia menyatakan, anak-anak tidak bisa hanya diberi pengertian. Perlu komitmen dan ketegasan orang tua menerapkan “diet gawai”. Jangankan konten hiburan, untuk materi pelajaran pun idealnya orang tua yang mengunduh supaya semuanya terkontrol. “Sebaiknya penggunaan WiFi di rumah juga benar-benar dibatasi,” ujar Devie.

Yang tak kalah penting, lanjut dia, adalah proses dialog terus-menerus antara orang tua dan anak. Pembicaraan bisa dari hal-hal yang serius hingga yang sangat ringan. Hal ini efektif memisahkan anak dan remaja dari gawai karena mereka merasa didengar dan diberi kesempatan yang nyaman untuk mendengarkan. “Jangan melulu petuah, teguran, dan marah yang satu arah. Harus dialog,” pungkasnya.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1012 seconds (0.1#10.140)