Pemerintah Tak Menutup Kemungkinan Revisi Kembali UU ITE
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika memaparkan bahwa mereka tak menutup kemungkinan untuk merevisi kembali Undang-Undang Infomasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang ada saat ini.
Hal tersebut disampaikan oleh Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu dalam sebuah Live Video bertajuk Tok Tok Kominfo. Ia mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang masyarakatnya diberikan ruang untuk berpendapat soal UU ini.
"Siapapun yang berpendapat perlu direvisi lagi, kami hargai itu," ucapnya saat live video di YouTube, Rabu (6/2/2019).
Selanjutnya, ia mencontohkan pada awal terbitnya UU ITE pada 21 April 2008, lalu setahun setelahnya mencuat kasus yang cukup mencolok di publik yakni kasus Prita Mulyasari.
Perhatian yang diberikan publik pada kasus tersebut, membuat mereka memahami UU ITE. Kemudian permintaan untuk merevisi aturan itu semakin banyak.
"2009 hanya satu tahun setelah UU ITE terbit, sebagian masyarakat kita punya pandangan sebaiknya perlu direvisi sebaiknya perlu diperhatikan lagi," lanjutnya.
Setelah permintaan itu, saat era pemerintahan ditahun 2014, pihaknya mulai serius menggarap revisi tersebut.
"Kami mulai melakukan rapat rutin dengan sejumlah pihak termasuk sejumlah kementerian, pakar, NGO dan Kejaksaan," ujar Ferdinandus
Namun ia menyebutkan bahwa proses revisi suatu UU memerlukan waktu yang tidak singkat. Perlu melewati beberapa tahapan.
"Untuk dijadikan naskah cukup panjang, walaupun itu hanya sekedar revisi. Misal sepakat, setidaknya butuh dua sampai tiga tahun baru jadi" pungkasnya.
Hal tersebut disampaikan oleh Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu dalam sebuah Live Video bertajuk Tok Tok Kominfo. Ia mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang masyarakatnya diberikan ruang untuk berpendapat soal UU ini.
"Siapapun yang berpendapat perlu direvisi lagi, kami hargai itu," ucapnya saat live video di YouTube, Rabu (6/2/2019).
Selanjutnya, ia mencontohkan pada awal terbitnya UU ITE pada 21 April 2008, lalu setahun setelahnya mencuat kasus yang cukup mencolok di publik yakni kasus Prita Mulyasari.
Perhatian yang diberikan publik pada kasus tersebut, membuat mereka memahami UU ITE. Kemudian permintaan untuk merevisi aturan itu semakin banyak.
"2009 hanya satu tahun setelah UU ITE terbit, sebagian masyarakat kita punya pandangan sebaiknya perlu direvisi sebaiknya perlu diperhatikan lagi," lanjutnya.
Setelah permintaan itu, saat era pemerintahan ditahun 2014, pihaknya mulai serius menggarap revisi tersebut.
"Kami mulai melakukan rapat rutin dengan sejumlah pihak termasuk sejumlah kementerian, pakar, NGO dan Kejaksaan," ujar Ferdinandus
Namun ia menyebutkan bahwa proses revisi suatu UU memerlukan waktu yang tidak singkat. Perlu melewati beberapa tahapan.
"Untuk dijadikan naskah cukup panjang, walaupun itu hanya sekedar revisi. Misal sepakat, setidaknya butuh dua sampai tiga tahun baru jadi" pungkasnya.
(wbs)