Bisnis Hoaks Sangat Menggiurkan
A
A
A
VELES - Mirko Ceselkoski awalnya hanyalah warga biasa. Namun setelah berhasil membantu Donald Trump memenangi pemilu di Amerika Serikat (AS), dia menjadi terkenal.
Pria berusia 38 tahun itu menyebut dirinya sebagai konsultan pemasaran internet dan meraup keuntungan besar dari berita hoaks. Pada 2016, lebih dari 100 situs web pendukung Trump dioperasikan dari Veles, Makedonia, meski mereka tidak tertarik dengan politik AS.
Situs-situs itu digunakan untuk menyebarkan berita palsu. “Situs teratas biasanya 100% menyesatkan,” kata Redaktur Buzzfeed News Craig Silverman yang mendalami isu ini. Atas hal itu Veles dikenal sebagai salah satu pusat hoaks di dunia sebelum bisnis itu menyebar ke berbagai penjuru lain, terutama ke negara yang akan menggelar pemilu, termasuk Malaysia dan Indonesia.
Bagi Rusia, troll informasi dituduh digunakan untuk memengaruhi politik di AS. Namun di Veles, troll dilakukan demi uang. Makedonia merupakan salah satu negara termiskin di Eropa dengan rata-rata penghasilan per orang sekitar SGD580 per bulan.
Situasinya kian sulit karena beberapa pabrik gulung tikar. Hoaks menjadi bisnis baru yang menguntungkan bagi sebagian orang di sana. Ceselkoski bahkan mengaku bangga bisa sukses karenanya. “Ketika beberapa dari kami mulai bereksperimen dalam dunia politik AS, hasilnya benar-benar bagus,” ujar Ceselskoski seperti dikutip channelnewsasia.com.
“Banyak murid saya yang meraup keuntungan lebih dari USD100.000 per bulan. Sebagian murid mendapatkan keuntungan lebih rendah, tapi tetap bagus,” tambahnya. Seorang troller, Sasha (nama samaran), mengaku awalnya hanya satu dua orang yang menjadi anggota dan meraup keuntungan tidak seberapa.
Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, bisnisnya membuahkan hasil, bahkan mencapai lima kali lebih besar daripada biasanya. Karena itu mereka terus melakukannya sampai sekarang. “Mereka yang sukses bahkan bisa membeli rumah dan mobil baru hanya dalam hitungan minggu,” kata Sasha.
Ada empat langkah yang mereka lakukan. Pertama,bergabung dengan sebuah grup di Facebook menggunakan akun palsu. Grup yang dimasuki tidak sembarangan, tapi dipilih yang memiliki pengaruh luas. “Penting sekali untuk masuk ke grup yang benar untuk memposting artikel kami,” terang Sasha.
Kedua, mencari topik yang sedang tren, menulisnya kembali dan memelintirnya. Judulnya mesti pendek sehingga mudah dan cepat dipahami. Berita palsu lebih banyak menarik dan diklik pengunjung daripada berita faktual.
Troller tidak membuat judul yang clickbait. Mereka mengarang isinya sesuai dengan judul dan keinginan pembaca, bukan kebenaran yang terjadi.
“Mereka percaya dengan apa yang ditulis karena mereka mendukung si A dan mereka berdebat saat menyebarkannya. Berita itu pun semakin meluas,” kata Ceselkoski.
Menurut Ceselkosi, Facebook menjadi media dengan berita hoaks terbanyak. Pengamat yang juga Asisten Profesor Ben Turner dari Sekolah Komunikasi dan Informasi Wee Kim Wee mengatakan, orang-orang terdorong untuk mendapatkan like di Facebook saat menyebarkan sesuatu.
Hal itu terjadi secara alami di dalam otak. “Ketika mendapatkan like atau konten yang mereka pikir dapat menarik like,mereka akan merasa senang untuk menyebarkannya tanpa melihat konten benar atau salah,” kata Turner.
Tim peneliti dari Universitas Teknologi Nan yang juga menunjukkan, manusia lebih suka dengan informasi yang sesuai dengan paham yang dianutnya. “Sesuatu yang bertentangan akan menyebabkan mental kita merasa tidak nyaman,” kata Carol Soon dari Institute of Policy Studies.
Fenomena ini dinilai dapat menciptakan permusuhan dan memecah belah persatuan. Sebab masyarakat menjadi terbelah, terbiasa berada di satu kelompok dan menolak opini oposisi. (M Shamil)
Pria berusia 38 tahun itu menyebut dirinya sebagai konsultan pemasaran internet dan meraup keuntungan besar dari berita hoaks. Pada 2016, lebih dari 100 situs web pendukung Trump dioperasikan dari Veles, Makedonia, meski mereka tidak tertarik dengan politik AS.
Situs-situs itu digunakan untuk menyebarkan berita palsu. “Situs teratas biasanya 100% menyesatkan,” kata Redaktur Buzzfeed News Craig Silverman yang mendalami isu ini. Atas hal itu Veles dikenal sebagai salah satu pusat hoaks di dunia sebelum bisnis itu menyebar ke berbagai penjuru lain, terutama ke negara yang akan menggelar pemilu, termasuk Malaysia dan Indonesia.
Bagi Rusia, troll informasi dituduh digunakan untuk memengaruhi politik di AS. Namun di Veles, troll dilakukan demi uang. Makedonia merupakan salah satu negara termiskin di Eropa dengan rata-rata penghasilan per orang sekitar SGD580 per bulan.
Situasinya kian sulit karena beberapa pabrik gulung tikar. Hoaks menjadi bisnis baru yang menguntungkan bagi sebagian orang di sana. Ceselkoski bahkan mengaku bangga bisa sukses karenanya. “Ketika beberapa dari kami mulai bereksperimen dalam dunia politik AS, hasilnya benar-benar bagus,” ujar Ceselskoski seperti dikutip channelnewsasia.com.
“Banyak murid saya yang meraup keuntungan lebih dari USD100.000 per bulan. Sebagian murid mendapatkan keuntungan lebih rendah, tapi tetap bagus,” tambahnya. Seorang troller, Sasha (nama samaran), mengaku awalnya hanya satu dua orang yang menjadi anggota dan meraup keuntungan tidak seberapa.
Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, bisnisnya membuahkan hasil, bahkan mencapai lima kali lebih besar daripada biasanya. Karena itu mereka terus melakukannya sampai sekarang. “Mereka yang sukses bahkan bisa membeli rumah dan mobil baru hanya dalam hitungan minggu,” kata Sasha.
Ada empat langkah yang mereka lakukan. Pertama,bergabung dengan sebuah grup di Facebook menggunakan akun palsu. Grup yang dimasuki tidak sembarangan, tapi dipilih yang memiliki pengaruh luas. “Penting sekali untuk masuk ke grup yang benar untuk memposting artikel kami,” terang Sasha.
Kedua, mencari topik yang sedang tren, menulisnya kembali dan memelintirnya. Judulnya mesti pendek sehingga mudah dan cepat dipahami. Berita palsu lebih banyak menarik dan diklik pengunjung daripada berita faktual.
Troller tidak membuat judul yang clickbait. Mereka mengarang isinya sesuai dengan judul dan keinginan pembaca, bukan kebenaran yang terjadi.
“Mereka percaya dengan apa yang ditulis karena mereka mendukung si A dan mereka berdebat saat menyebarkannya. Berita itu pun semakin meluas,” kata Ceselkoski.
Menurut Ceselkosi, Facebook menjadi media dengan berita hoaks terbanyak. Pengamat yang juga Asisten Profesor Ben Turner dari Sekolah Komunikasi dan Informasi Wee Kim Wee mengatakan, orang-orang terdorong untuk mendapatkan like di Facebook saat menyebarkan sesuatu.
Hal itu terjadi secara alami di dalam otak. “Ketika mendapatkan like atau konten yang mereka pikir dapat menarik like,mereka akan merasa senang untuk menyebarkannya tanpa melihat konten benar atau salah,” kata Turner.
Tim peneliti dari Universitas Teknologi Nan yang juga menunjukkan, manusia lebih suka dengan informasi yang sesuai dengan paham yang dianutnya. “Sesuatu yang bertentangan akan menyebabkan mental kita merasa tidak nyaman,” kata Carol Soon dari Institute of Policy Studies.
Fenomena ini dinilai dapat menciptakan permusuhan dan memecah belah persatuan. Sebab masyarakat menjadi terbelah, terbiasa berada di satu kelompok dan menolak opini oposisi. (M Shamil)
(nfl)