Trump Minta Google, Twitter dan Facebook Waspada
A
A
A
NEW YORK - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan peringatan pada Google, Twitter dan Facebook, agar mereka waspada. Trump merasa ada bias dalam kebijakan media sosial, dan akan ditumpangi untuk kepentingan politik.
"Saya pikir Google benar-benar telah memanfaatkan banyak orang. Dan saya pikir itu adalah hal yang sangat serius dan itu adalah tuduhan yang sangat serius," kata Trump kepada wartawan di Oval Office, dikutip Washington Examiner.
"Saya pikir Google dan Twitter dan Facebook, mereka benar-benar menginjak wilayah yang sangat, sangat bermasalah. Dan mereka harus berhati-hati. Ini tidak adil bagi sebagian besar penduduk," katanya.
Trump tidak mengatakan apakah dia akan merekomendasikan kebijakan baru atau penalti untuk perusahaan teknologi teknologi tersebut. Tapi seorang pembantu presiden mengatakan bahwa pemerintah sedang "mencari" masalah regulasi.
Facebook sendiri telah menghapus 652 akun, grup, dan laman palsu yang diklaim terkait dengan Rusia dan Iran. Alasannya, akun-akun tersebut dianggap menyebarkan berperilaku yang tak berdasarkan fakta secara terkoordinasi atau coordinated inauthentic behaviour.
Akun-akun tersebut diduga sebagai bagian dari trik dua negara tersebut untuk mempengaruhi politik di Amerika Serikat, Inggris, Timur Tengah dan Amerika Latin.
Seluruh akun dan laman yang dihapus tersebut terbagi dalam empat kampanye, yang tiga di antaranya diduga dilancarkan dari Iran, demikian seperti diungkapkan oleh raksasa jejaring sosial itu pada hari ini.
"Masalah keamanan bukanlah sesuatu yang bisa dipecahkan secara keseluruhan. Untuk itu, kami harus konsisten untuk menjaganya," kata CEO Facebook, Mark Zuckerberg, seperti dikutip dari The Guardian).
Kampanye pertama dilaporkan melibatkan jaringan laman Facebook dan akun di platform lain dengan nama "Liberty Front Press". Pengelola dan anggotanya memposisikan diri sebagai pihak yang independen, tetapi mereka kemudian diketahui memiliki hubungan dengan media pemerintah Iran.
Sebanyak 74 laman, 70 akun dan tiga grup di Facebook, termasuk 76 akun Instagram --beberapa di antaranya dibuat pada tahun 2013-- memposting konten politik yang berfokus di Timur Tengah, Inggris, Amerika Serikat dan Amerika Latin.
Penasihat ekonomi top Trump, Larry Kudlow, mengatakan bahwa pemerintah sedang memikirkan apakah itu harus diatur dan akan melakukan beberapa penyelidikan dan beberapa analisis.
Dalam sebuah postingan tweet baru-baru menuduh Google memprioritaskan beritas negatif di hasil pencariannya, dan menyebutnya sebagai "media sayap kiri nasional".
Di lain pihak, Google membantah menggunakan sudut pandang politik untuk membentuk hasil pencariannya.
"Pencarian tidak digunakan untuk mengatur agenda politik dan hasilnya pencarian kami tidak bias terhadap ideologi politik," kata Facebook, dikutip BBC.
"Saat pengguna mengetikkan teks ke dalam bilah Google Penelusuran, sasaran kami adalah memastikan mereka menerima jawaban yang paling relevan dalam hitungan detik."
"Kami terus bekerja untuk meningkatkan pencarian Google dan kami tidak pernah menentukan peringkat hasil pencarian untuk memanipulasi sentimen politik."
Twitter dan Facebook belum berkomentar secara langsung.
"Saya pikir Google benar-benar telah memanfaatkan banyak orang. Dan saya pikir itu adalah hal yang sangat serius dan itu adalah tuduhan yang sangat serius," kata Trump kepada wartawan di Oval Office, dikutip Washington Examiner.
"Saya pikir Google dan Twitter dan Facebook, mereka benar-benar menginjak wilayah yang sangat, sangat bermasalah. Dan mereka harus berhati-hati. Ini tidak adil bagi sebagian besar penduduk," katanya.
Trump tidak mengatakan apakah dia akan merekomendasikan kebijakan baru atau penalti untuk perusahaan teknologi teknologi tersebut. Tapi seorang pembantu presiden mengatakan bahwa pemerintah sedang "mencari" masalah regulasi.
Facebook sendiri telah menghapus 652 akun, grup, dan laman palsu yang diklaim terkait dengan Rusia dan Iran. Alasannya, akun-akun tersebut dianggap menyebarkan berperilaku yang tak berdasarkan fakta secara terkoordinasi atau coordinated inauthentic behaviour.
Akun-akun tersebut diduga sebagai bagian dari trik dua negara tersebut untuk mempengaruhi politik di Amerika Serikat, Inggris, Timur Tengah dan Amerika Latin.
Seluruh akun dan laman yang dihapus tersebut terbagi dalam empat kampanye, yang tiga di antaranya diduga dilancarkan dari Iran, demikian seperti diungkapkan oleh raksasa jejaring sosial itu pada hari ini.
"Masalah keamanan bukanlah sesuatu yang bisa dipecahkan secara keseluruhan. Untuk itu, kami harus konsisten untuk menjaganya," kata CEO Facebook, Mark Zuckerberg, seperti dikutip dari The Guardian).
Kampanye pertama dilaporkan melibatkan jaringan laman Facebook dan akun di platform lain dengan nama "Liberty Front Press". Pengelola dan anggotanya memposisikan diri sebagai pihak yang independen, tetapi mereka kemudian diketahui memiliki hubungan dengan media pemerintah Iran.
Sebanyak 74 laman, 70 akun dan tiga grup di Facebook, termasuk 76 akun Instagram --beberapa di antaranya dibuat pada tahun 2013-- memposting konten politik yang berfokus di Timur Tengah, Inggris, Amerika Serikat dan Amerika Latin.
Penasihat ekonomi top Trump, Larry Kudlow, mengatakan bahwa pemerintah sedang memikirkan apakah itu harus diatur dan akan melakukan beberapa penyelidikan dan beberapa analisis.
Dalam sebuah postingan tweet baru-baru menuduh Google memprioritaskan beritas negatif di hasil pencariannya, dan menyebutnya sebagai "media sayap kiri nasional".
Di lain pihak, Google membantah menggunakan sudut pandang politik untuk membentuk hasil pencariannya.
"Pencarian tidak digunakan untuk mengatur agenda politik dan hasilnya pencarian kami tidak bias terhadap ideologi politik," kata Facebook, dikutip BBC.
"Saat pengguna mengetikkan teks ke dalam bilah Google Penelusuran, sasaran kami adalah memastikan mereka menerima jawaban yang paling relevan dalam hitungan detik."
"Kami terus bekerja untuk meningkatkan pencarian Google dan kami tidak pernah menentukan peringkat hasil pencarian untuk memanipulasi sentimen politik."
Twitter dan Facebook belum berkomentar secara langsung.
(wbs)