Orderan Tuyul Ojol, Resahkan Semua Pihak
A
A
A
JAKARTA - Semakin meningkatnya jumlah pengendara ojek online, membuat persaingan antar driver semakin ketat. Alhasil tak sedikit diantara mereka yang melakukan kecurangan demi mendapatkan penumpang.
Beragam modus kecurangan dilakukan beberapa mitra pengemudi, diantaranya adalah membuat orderan fiktif, penggunaan aplikasi Fake GPS untuk mencurangi sistem dan menggunakan aplikasi tambahan untuk tidak mengambil pemesanan tanpa mengurangi performa penerimaan order dari mitra tersebut.
Istilah 'tuyul' sendiri digunakan untuk menyebut penumpang fiktif. Teknisnya, para driver yang curang menggunakan aplikasi Fake GPS. Jadi, seolah-olah di aplikasi ada penumpang yang diantar, padahal pengemudinya tidak bergerak kemana-mana.
Insentif diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada mitra pengemudi. Penilaiannya dilakukan berdasar produktivitas masing-masing mitra pengemudi yang berhasil melampaui standar yang telah ditentukan.
Sedangkan dari sisi pelanggan, jika mendapatkan pengemudi yang menggunakan 'tuyul', mereka cenderung harus menunggu lebih lama untuk kedatangan pengemudi. Sebab jarak yang tertera di aplkasi bukan jarak yang sebenarnya. Alhasil harapan mendapat tumpangan yang cepat dan nyaman menjadi sirna.
“Orderan tuyul dan fiktif sangat merugikan semua pihak dan masuk dalam kategori penyakit masyarakat, masuk dalam kategori pencurian dan penipuan. Kondisinya saat ini sudah masuk kategori darurat. Untuk itu perlu sinergi berbagai pihak dalam memberantas para sindikat tersebut. Karena mereka itu, diindikasikan tidak hanya dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh jaringan sindikat,” ungkap Muslih Zainal Asikin Masyarakat Transportasi Indonesia pada Seminar dibilangan Jakarta Selatan, Selasa (05/06/2018).
Salah satu pengamat Cyber Security, Pratama Persadha menyarankan, bila perlu pemerintah membangun aplikasi GPS sendiri yang bisa digunakan oleh seluruh developer lokal, dengan fitur anti fake GPS. Ia juga memberi saran bahwa pemerintah juga didorong untuk merumuskan UU Perlindungan Data Pribadi agar setiap perusahaan dan instansi yang menyimpan dan memproses data penduduk wajib menyediakan sistem yang unggul dan aman.
Sementara itu, Bhima Yudistira, pengamat ekonomi INDEF mengatakan bahwa maraknya “Tuyul dan ojek fiktif akan berimbas pada kerugian industri, baik secara material maupun system. Pada ujungnya akan membuat kerugian besar bagi industri dan perekonomian secara global,” ungkap Bhima.
Beragam modus kecurangan dilakukan beberapa mitra pengemudi, diantaranya adalah membuat orderan fiktif, penggunaan aplikasi Fake GPS untuk mencurangi sistem dan menggunakan aplikasi tambahan untuk tidak mengambil pemesanan tanpa mengurangi performa penerimaan order dari mitra tersebut.
Istilah 'tuyul' sendiri digunakan untuk menyebut penumpang fiktif. Teknisnya, para driver yang curang menggunakan aplikasi Fake GPS. Jadi, seolah-olah di aplikasi ada penumpang yang diantar, padahal pengemudinya tidak bergerak kemana-mana.
Insentif diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada mitra pengemudi. Penilaiannya dilakukan berdasar produktivitas masing-masing mitra pengemudi yang berhasil melampaui standar yang telah ditentukan.
Sedangkan dari sisi pelanggan, jika mendapatkan pengemudi yang menggunakan 'tuyul', mereka cenderung harus menunggu lebih lama untuk kedatangan pengemudi. Sebab jarak yang tertera di aplkasi bukan jarak yang sebenarnya. Alhasil harapan mendapat tumpangan yang cepat dan nyaman menjadi sirna.
“Orderan tuyul dan fiktif sangat merugikan semua pihak dan masuk dalam kategori penyakit masyarakat, masuk dalam kategori pencurian dan penipuan. Kondisinya saat ini sudah masuk kategori darurat. Untuk itu perlu sinergi berbagai pihak dalam memberantas para sindikat tersebut. Karena mereka itu, diindikasikan tidak hanya dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh jaringan sindikat,” ungkap Muslih Zainal Asikin Masyarakat Transportasi Indonesia pada Seminar dibilangan Jakarta Selatan, Selasa (05/06/2018).
Salah satu pengamat Cyber Security, Pratama Persadha menyarankan, bila perlu pemerintah membangun aplikasi GPS sendiri yang bisa digunakan oleh seluruh developer lokal, dengan fitur anti fake GPS. Ia juga memberi saran bahwa pemerintah juga didorong untuk merumuskan UU Perlindungan Data Pribadi agar setiap perusahaan dan instansi yang menyimpan dan memproses data penduduk wajib menyediakan sistem yang unggul dan aman.
Sementara itu, Bhima Yudistira, pengamat ekonomi INDEF mengatakan bahwa maraknya “Tuyul dan ojek fiktif akan berimbas pada kerugian industri, baik secara material maupun system. Pada ujungnya akan membuat kerugian besar bagi industri dan perekonomian secara global,” ungkap Bhima.
(wbs)