Jakarta Masuk Deretan Kota Digital
A
A
A
JAKARTA - Delapan kota di Asia menempati peringkat 10 besar dalam kepercayaan bisnis lingkungan digital dalam laporan Connecting Commerce, Economist Intelligence Unit (EIU).
Dominasi kota-kota Asia di posisi puncak pada pemeringkatan tersebut membuktikan bahwa kemampuan negara-negara berkembang dalam menciptakan lingkungan digital yang kondusif.
Delapan kota itu ialah Bangalore diurutan pertama, Mumbai (3), New Delhi (4), Beijing (5), Manila (6), Shanghai (7), dan Jakarta (8). Ada pun di urutan kedua adalah San Francisco, sedangkan London dan Madrid berada di urutan sembilan dan sepuluh. Ini merupakan tahun keempat EIU merilis laporan yang mengukur kepercayaan bisnis lingkungan digital pada level kota.
Adapun riset sebelumnya mengukur kepercayaan bisnis pada tingkat negara. Laporan EIU itu ditugaskan oleh organisasi telekomunikasi dan teknologi Telstra yang berbasis di Australia.
Telstra merupakan mitra dari PT Telkom Indonesia yang bersama-sama membentuk Telkomtelstra. Peringkat tersebut disusun berdasarkan Barometer Kota Digital yang mendata peringkat 45 kota berdasarkan lima kategori utama terkait kinerja bisnis, yakni inovasi dan entrepreneurship, lingkungan keuangan, orang dan skill, pengembangan teknologi baru, serta infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi.
Laporan itu menilai kepercayaan 2.600 eksekutif bisnis di lingkungan kota dan kondusivitas kota itu dalam mendukung ambisi digital perusahaan. Peringkat itu juga menegaskan kaitan antara dukungan perusahaan pada ekonomi digital dan lingkungan kota tempat mereka berada. Laporan itu juga mem beri pemahaman unik pada kondisi transformasi digital global, membantu orang memahami bagaimana satu kota dapat mendukung upaya transformasi digital perusahaan.
”Meskipun kota-kota di negara maju di Asia memiliki rekor kepercayaan bisnis lebih rendah, bukan berarti kota-kota seperti Hong Kong dan Tokyo tidak menyediakan lingkungan kondusif bagi transformasi digital,” ungkap laporan tersebut.
Menurut laporan itu, tingginya tingkat kepercayaan di kotakota berkembang itu karena optimisme umum dan antusiasme menuju potensi pertumbuhan di kota-kota negara berkembang. Temuan utama dalam laporan itu ialah kesenjangan skill yang menjadi dua tantangan terbesar bagi perusahaan untuk transformasi digital, selain hambatan keuangan.
”Ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan lokal harus melakukan upaya lebih dalam menyuplai talenta digital,” papar laporan tersebut. Dua skill utama yang diperlukan untuk transformasi itu ialah terkait skill keamanan digital dan analisis data canggih.
Adapun skill seperti networking juga men jadi prioritas. Direktur Boston Consulting Group (BCG) India Alpesh Shah menyoroti tiga kota India yang menduduki peringkat empat besar dalam daftar tersebut.
Menurutnya, tiga kota itu mendorong beragam jejaring formal dan informal, forum dan komunitas tempat para entrepreneur. ”Forum tersebut juga memungkinkan manajer teknologi dan lainnya bertemu setiap hari,” ucapnya.
Menurut studi terbaru, di India inkubator dan akselerator bisnis berbasis digital berjumlah lebih dari 140 atau jumlah tertinggi di dunia setelah China dan Amerika Serikat (AS).
”40% dari itu berpusat di Bangalore, Mumbai, dan New Delhi,” kata Shah dalam laporan tersebut. Shah secara khusus memuji antusiasme lingkungan entrepreneurship digital di Bangalore. ”Ini mirip Silicon Valley di Asia,” ujarnya.
Dia menambahkan, di kota-kota yang masuk deretan lingkungan digital tersebut sejumlah perusahaan besar secara aktif bermain di ekosistem lokal, mulai dari raksasa te k nologi Amazon, Google, Microsoft, SAP, Qualcomm, dan Cisco.
Di Banglore misalnya para raksasa teknologi itu mensponsori akselerator termasuk perusahaan multinasional asal India seperti Tata Group dan Mahindra & Mahindra. Kemunculan perusahaan-perusahaan berbasis digital juga menumbuhkan struktur dan keterlibatan perusahaan multinasional di kota itu, termasuk kehadiran perusahaan venture capital (VC) dan perbankan investasi.
Kondisi tersebut membantu menjadikan Bangalore sebagai magnet bagi talenta teknologi di India. Shah menyebut maraknya lingkungan digital di tiga kota India itu memicu entrepreneurship pada para pebisnis.
Meski demikian, kondisi ini tidak dialami pemerintah lokal. ”Tak ada yang dilakukan secara proaktif oleh pemerintah untuk membantu transformasi digital. Hal terbaik yang dilakukan pemerintah di sana ialah menjaga jarak,” papar Shah. Kebijakan dan inisiatif pemerintah kota memang memiliki pengaruh dalam lingkungan untuk transformasi digital.
Amsterdam Smart City (ASC) menjadi contoh model kemitraan publik-privat untuk digitalisasi kota. Pendiri firma konsultan bisnis kecil Startup-4City, Daria Batukhtina, mengaku yakin kesuksesan ASC karena langkah pemerintah kota sebagai kepala fasilitator menyatukan semua pihak dalam trans formasi digital dan membuat mereka bekerja sama.
Direktur dan CEO Institute of Systems Science di National University of Singapore Chan Meng Khoong yakin peran aktif pemerintah dalam mensponsori dan mendanai inovasi digital serta entrepreneurship me ningkatkan derajat kepercayaan antara pemerintah dan sektor swasta.
Presiden Direktur Telkom Telstra Erik Meijer menjelaskan, laporan itu menunjukkan tingginya kepercayaan terhadap Jakarta yang masuk dalam peringkat 10 besar. Menurut Meijer, agar transformasi digital sukses, dukungan eksternal yang kuat diperkuat.
”Sangat menjanjikan melihat para pemimpin bisnis di Jakarta optimistis tentang kemampuan kota mereka membantu membuka potensi digital organisasi mereka. Beberapa optimisme ini tampaknya muncul dari pertumbuhan ekosistem digital Jakarta, serta pemerintahan nasional yang ramah bisnis serta serius mendorong entrepreneurship digital,” kata Meijer, dikutip digitalnewsasia.com.
Meijer menambahkan, selama 10 tahun terakhir Indonesia dan Jakarta khususnya memiliki perkembangan bagus dalam pembangunan sektor bisnis digital. Jika kota-kota besar lain seperti Tokyo, Hong Kong, dan Singapura memiliki indeks kepercayaan yang lebih rendah, itu karena kota-kota tersebut telah mencapai kemajuan besar sehingga ekspektasi para pemimpin bisnis menurun.
”Hasil laporan ini menunjukkan posisi Jakarta sebagai pusat ekosistem bisnis digital di Indonesia sehingga tidak dapat diremehkan dan kita perlu mendorong posisi ini lebih lanjut untuk mencapai target menjadi pusat ekonomi digital global pada 2020,” papar Meijer.
Para eksekutif bisnis di Jakarta yakin dengan dukungan pemerintah daerah yang akan memainkan peran positif dalam mengembangkan ekosistem digital dalam tiga tahun mendatang.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, masuknya Jakarta sebagai kota digital dunia bukan sesuatu yang baru. Dia bahkan menilai Jakarta harusnya bisa lebih baik di banding kota-kota lain di Asia karena dewasa ini perkembangan berbagai aplikasi di gital berbasis internet sangat pesat.
Kemunculan berbagai aplikasi tersebut diikuti minat tinggi masyarakat dalam mengakses dan memanfaatkannya. ”Kita lihat sejak aplikasi trans portasi online merebak, be gitu bergantungnya kita dengan aplikasi seperti GoJek, Grab, maupun Uber. Tidak hanya dimanfaatkan sebagai aplikasi transportasi, namun berkembang menjadi sebuah ke butuhan sehari-hari. Dari membeli pulsa, membayar tagihan, dan sebagainya,” sebutnya kepada KORAN SINDO tadi malam.
Di sisi lain, penggunaan media sosial yang masih di ibu kota memungkinkan lahirnya ecommerce yang menjamur. Selain itu, makin maraknya aplikasi sektor keuangan yang hampir menyerupai lembaga keuangan nonbank juga ikut membantu masyarakat.
Pada akhirnya, ujar dia, semua itu akan mengubah dan memengaruhi pola konsumsi masyarakat. ”Kita bisa lihat, banyak pemain besar sektor ritel yang harus mengikuti tren perubahan konsumsi masyarakat. Itu sebabnya sektor ini akan terus bertumbuh seiring dengan kreativitas anak muda dan entrepreneur menciptakan cara-cara yang memudahkan dan menghasilkan,” ungkapnya.
Meski demikian, ujar dia, pemanfaatan sektor digital di masyarakat yang begitu masif belum mampu diikuti oleh pemerintah. Dia mencontohkan, Jakarta yang seharusnya mampu menjadi pionir kota digital melalui konsep smartcity belum berjalan maksimal.
”Harusnya ini bisa misalnya dengan menciptakan smart city yang berkelanjutan. Sejauh ini belum ada yang maksimal atau masih berjalan sendiri-sendiri. Misalnya sektor transportasi Transjakarta harusnya bisa terintegrasi dengan sektor lain sehingga sifatnya real time. CCTV diberdayakan sehingga informasi yang dibutuhkan setiap saat tersedia dan bisa terpantau,” ucapnya.
Menurutnya, Jakarta bisa menjadi kota digital yang patut menjadi contoh dibanding negara-negara Asia lain dengan mengintegrasikan sistem digital yang ada. Dengan pengintegrasian tersebut, akan banyak potensi bisnis yang bisa digarap kalangan swasta.
”Saya kira akan banyak yang menempel nantinya dari pihak swasta dan itu membuat digital yang dibangun pemerintah bisa lebih luas dan menjangkau semuanya. Misalnya, informasi mengenai ihwal yang dibutuh kan warganya ketika berada di jalan, di mobil, atau di rumah sekalipun ada aplikasi atau web yang bisa menjadi rujukan masyarakat,” pungkasnya. (Syarifudin/ Ichsan Amin)
Dominasi kota-kota Asia di posisi puncak pada pemeringkatan tersebut membuktikan bahwa kemampuan negara-negara berkembang dalam menciptakan lingkungan digital yang kondusif.
Delapan kota itu ialah Bangalore diurutan pertama, Mumbai (3), New Delhi (4), Beijing (5), Manila (6), Shanghai (7), dan Jakarta (8). Ada pun di urutan kedua adalah San Francisco, sedangkan London dan Madrid berada di urutan sembilan dan sepuluh. Ini merupakan tahun keempat EIU merilis laporan yang mengukur kepercayaan bisnis lingkungan digital pada level kota.
Adapun riset sebelumnya mengukur kepercayaan bisnis pada tingkat negara. Laporan EIU itu ditugaskan oleh organisasi telekomunikasi dan teknologi Telstra yang berbasis di Australia.
Telstra merupakan mitra dari PT Telkom Indonesia yang bersama-sama membentuk Telkomtelstra. Peringkat tersebut disusun berdasarkan Barometer Kota Digital yang mendata peringkat 45 kota berdasarkan lima kategori utama terkait kinerja bisnis, yakni inovasi dan entrepreneurship, lingkungan keuangan, orang dan skill, pengembangan teknologi baru, serta infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi.
Laporan itu menilai kepercayaan 2.600 eksekutif bisnis di lingkungan kota dan kondusivitas kota itu dalam mendukung ambisi digital perusahaan. Peringkat itu juga menegaskan kaitan antara dukungan perusahaan pada ekonomi digital dan lingkungan kota tempat mereka berada. Laporan itu juga mem beri pemahaman unik pada kondisi transformasi digital global, membantu orang memahami bagaimana satu kota dapat mendukung upaya transformasi digital perusahaan.
”Meskipun kota-kota di negara maju di Asia memiliki rekor kepercayaan bisnis lebih rendah, bukan berarti kota-kota seperti Hong Kong dan Tokyo tidak menyediakan lingkungan kondusif bagi transformasi digital,” ungkap laporan tersebut.
Menurut laporan itu, tingginya tingkat kepercayaan di kotakota berkembang itu karena optimisme umum dan antusiasme menuju potensi pertumbuhan di kota-kota negara berkembang. Temuan utama dalam laporan itu ialah kesenjangan skill yang menjadi dua tantangan terbesar bagi perusahaan untuk transformasi digital, selain hambatan keuangan.
”Ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan lokal harus melakukan upaya lebih dalam menyuplai talenta digital,” papar laporan tersebut. Dua skill utama yang diperlukan untuk transformasi itu ialah terkait skill keamanan digital dan analisis data canggih.
Adapun skill seperti networking juga men jadi prioritas. Direktur Boston Consulting Group (BCG) India Alpesh Shah menyoroti tiga kota India yang menduduki peringkat empat besar dalam daftar tersebut.
Menurutnya, tiga kota itu mendorong beragam jejaring formal dan informal, forum dan komunitas tempat para entrepreneur. ”Forum tersebut juga memungkinkan manajer teknologi dan lainnya bertemu setiap hari,” ucapnya.
Menurut studi terbaru, di India inkubator dan akselerator bisnis berbasis digital berjumlah lebih dari 140 atau jumlah tertinggi di dunia setelah China dan Amerika Serikat (AS).
”40% dari itu berpusat di Bangalore, Mumbai, dan New Delhi,” kata Shah dalam laporan tersebut. Shah secara khusus memuji antusiasme lingkungan entrepreneurship digital di Bangalore. ”Ini mirip Silicon Valley di Asia,” ujarnya.
Dia menambahkan, di kota-kota yang masuk deretan lingkungan digital tersebut sejumlah perusahaan besar secara aktif bermain di ekosistem lokal, mulai dari raksasa te k nologi Amazon, Google, Microsoft, SAP, Qualcomm, dan Cisco.
Di Banglore misalnya para raksasa teknologi itu mensponsori akselerator termasuk perusahaan multinasional asal India seperti Tata Group dan Mahindra & Mahindra. Kemunculan perusahaan-perusahaan berbasis digital juga menumbuhkan struktur dan keterlibatan perusahaan multinasional di kota itu, termasuk kehadiran perusahaan venture capital (VC) dan perbankan investasi.
Kondisi tersebut membantu menjadikan Bangalore sebagai magnet bagi talenta teknologi di India. Shah menyebut maraknya lingkungan digital di tiga kota India itu memicu entrepreneurship pada para pebisnis.
Meski demikian, kondisi ini tidak dialami pemerintah lokal. ”Tak ada yang dilakukan secara proaktif oleh pemerintah untuk membantu transformasi digital. Hal terbaik yang dilakukan pemerintah di sana ialah menjaga jarak,” papar Shah. Kebijakan dan inisiatif pemerintah kota memang memiliki pengaruh dalam lingkungan untuk transformasi digital.
Amsterdam Smart City (ASC) menjadi contoh model kemitraan publik-privat untuk digitalisasi kota. Pendiri firma konsultan bisnis kecil Startup-4City, Daria Batukhtina, mengaku yakin kesuksesan ASC karena langkah pemerintah kota sebagai kepala fasilitator menyatukan semua pihak dalam trans formasi digital dan membuat mereka bekerja sama.
Direktur dan CEO Institute of Systems Science di National University of Singapore Chan Meng Khoong yakin peran aktif pemerintah dalam mensponsori dan mendanai inovasi digital serta entrepreneurship me ningkatkan derajat kepercayaan antara pemerintah dan sektor swasta.
Presiden Direktur Telkom Telstra Erik Meijer menjelaskan, laporan itu menunjukkan tingginya kepercayaan terhadap Jakarta yang masuk dalam peringkat 10 besar. Menurut Meijer, agar transformasi digital sukses, dukungan eksternal yang kuat diperkuat.
”Sangat menjanjikan melihat para pemimpin bisnis di Jakarta optimistis tentang kemampuan kota mereka membantu membuka potensi digital organisasi mereka. Beberapa optimisme ini tampaknya muncul dari pertumbuhan ekosistem digital Jakarta, serta pemerintahan nasional yang ramah bisnis serta serius mendorong entrepreneurship digital,” kata Meijer, dikutip digitalnewsasia.com.
Meijer menambahkan, selama 10 tahun terakhir Indonesia dan Jakarta khususnya memiliki perkembangan bagus dalam pembangunan sektor bisnis digital. Jika kota-kota besar lain seperti Tokyo, Hong Kong, dan Singapura memiliki indeks kepercayaan yang lebih rendah, itu karena kota-kota tersebut telah mencapai kemajuan besar sehingga ekspektasi para pemimpin bisnis menurun.
”Hasil laporan ini menunjukkan posisi Jakarta sebagai pusat ekosistem bisnis digital di Indonesia sehingga tidak dapat diremehkan dan kita perlu mendorong posisi ini lebih lanjut untuk mencapai target menjadi pusat ekonomi digital global pada 2020,” papar Meijer.
Para eksekutif bisnis di Jakarta yakin dengan dukungan pemerintah daerah yang akan memainkan peran positif dalam mengembangkan ekosistem digital dalam tiga tahun mendatang.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, masuknya Jakarta sebagai kota digital dunia bukan sesuatu yang baru. Dia bahkan menilai Jakarta harusnya bisa lebih baik di banding kota-kota lain di Asia karena dewasa ini perkembangan berbagai aplikasi di gital berbasis internet sangat pesat.
Kemunculan berbagai aplikasi tersebut diikuti minat tinggi masyarakat dalam mengakses dan memanfaatkannya. ”Kita lihat sejak aplikasi trans portasi online merebak, be gitu bergantungnya kita dengan aplikasi seperti GoJek, Grab, maupun Uber. Tidak hanya dimanfaatkan sebagai aplikasi transportasi, namun berkembang menjadi sebuah ke butuhan sehari-hari. Dari membeli pulsa, membayar tagihan, dan sebagainya,” sebutnya kepada KORAN SINDO tadi malam.
Di sisi lain, penggunaan media sosial yang masih di ibu kota memungkinkan lahirnya ecommerce yang menjamur. Selain itu, makin maraknya aplikasi sektor keuangan yang hampir menyerupai lembaga keuangan nonbank juga ikut membantu masyarakat.
Pada akhirnya, ujar dia, semua itu akan mengubah dan memengaruhi pola konsumsi masyarakat. ”Kita bisa lihat, banyak pemain besar sektor ritel yang harus mengikuti tren perubahan konsumsi masyarakat. Itu sebabnya sektor ini akan terus bertumbuh seiring dengan kreativitas anak muda dan entrepreneur menciptakan cara-cara yang memudahkan dan menghasilkan,” ungkapnya.
Meski demikian, ujar dia, pemanfaatan sektor digital di masyarakat yang begitu masif belum mampu diikuti oleh pemerintah. Dia mencontohkan, Jakarta yang seharusnya mampu menjadi pionir kota digital melalui konsep smartcity belum berjalan maksimal.
”Harusnya ini bisa misalnya dengan menciptakan smart city yang berkelanjutan. Sejauh ini belum ada yang maksimal atau masih berjalan sendiri-sendiri. Misalnya sektor transportasi Transjakarta harusnya bisa terintegrasi dengan sektor lain sehingga sifatnya real time. CCTV diberdayakan sehingga informasi yang dibutuhkan setiap saat tersedia dan bisa terpantau,” ucapnya.
Menurutnya, Jakarta bisa menjadi kota digital yang patut menjadi contoh dibanding negara-negara Asia lain dengan mengintegrasikan sistem digital yang ada. Dengan pengintegrasian tersebut, akan banyak potensi bisnis yang bisa digarap kalangan swasta.
”Saya kira akan banyak yang menempel nantinya dari pihak swasta dan itu membuat digital yang dibangun pemerintah bisa lebih luas dan menjangkau semuanya. Misalnya, informasi mengenai ihwal yang dibutuh kan warganya ketika berada di jalan, di mobil, atau di rumah sekalipun ada aplikasi atau web yang bisa menjadi rujukan masyarakat,” pungkasnya. (Syarifudin/ Ichsan Amin)
(nfl)