Kawal Petani Menggapai Kesejahteraan
A
A
A
MUHAMMAD Nanda Putra bersama dua rekannya mendirikan Tanijoy untuk membantu para petani mendapatkan hak mereka. Dengan begitu, sosok yang berjasa dalam mencukupi kebutuhan pangan masyarakat tersebut diharapkan menjadi lebih sejahtera. Bagaimana hal itu dilakukan?
Nanda dan kedua temannya memang berharap kehadiran startup bernama Tanijoy yang mereka dirikan dapat membuat sektor pertanian lebih maju. Hal itu tentu diawali dari petani yang sejahtera dan berdaya. Bagaimana awal startup ini dibangun dan seperti apa sistem kerjanya? Apa pula impian sang founder untuk para petani melalui Tanijoy yang bisa diwujudkan? Inilah wawancara KORAN SINDO dengan Nanda.
Bagaimana awalnya terbesit ide untuk membantu petani?
Saya memang punya basic di pertanian. Tahun 2012 saya mulai coba menanam kopi karena suka minum kopi. Ya sekalian saja, buka lahan empat hektare di Sekarwangi Kabupaten Bogor, di situ saya mengenal petani lokal. Jadi, saya mempekerjakan beberapa petani. Dulu dibayar biasanya Rp20.000, tapi sekarang Rp30.000 untuk upah buruh hariannya.
Mereka merasa kurang bisa memenuhi kehidupan sehari-hari. Ada petani yang berinisiatif mau bercocok tanam sendiri. Tetapi untuk memulainya butuh modal. Sementara mereka tidak punya (modal). Mau pinjam ke saya, pada saat itu saya tidak punya uang. Akhirnya mereka meminjam ke tengkulak. Syaratnya mereka meminjam tidak dalam bentuk uang, namun kebutuhan pertanian seperti pupuk. Syarat lain, petani harus jual hasil tani mereka ke tengkulak dengan harga yang ditentukan oleh mereka, pasti lebih murah.
Sering kali petani rugi, tidak balik modal atau pas-pasan. Apalagi jika gagal panen, berarti utangnya tertahan, tidak ada yang bisa dibayar. Parahnya lagi, mereka tidak memegang uang sehingga harus menunggu bagi hasil. Jadi selama tiga bulan, mereka puasa atau kembali meminjam. Tutup lubang gali lubang. Dari situ saya tahu pasti bagaimana kehidupan petani sesungguhnya.
Apa saja masalah petani kecil?
Masalah lahan. Mereka belum punya lahan sendiri. Sebenarnya ada banyak lahan, tetapi sudah dibeli oleh warga di perkotaan. Petani biasanya memanfaatkan tanah milik orang kota tersebut. Salahnya memang tidak meminta izin. Kalau pemiliknya datang, kebetulan ingin membangun vila, biasanya ada konflik atau paling tidak tanaman yang sudah ditanam berbulan-bulan harus digusur. Permodalan juga menjadi masalah. Memang banyak yang mau bantu, tapi tidak adil. Petani butuh sumber modal yang saling menguntungkan.
Bagaimana Tanijoy akhirnya hadir?
Saya bersama teman-teman saya, Kukuh Budi Santoso dan Febrian Imanda Effendi, ingin membuat sesuatu untuk petani. Mereka punya pengalaman di gerakan sosial dan aktif pada pemberdayaan desa. Kami berdiskusi sampai tinggal di kebun untuk tanya-tanya langsung kepada petani, apa saja yang mereka butuhkan. Survei Februari 2017 dan mulai proyek April 2017.
Bisa dijelaskan sistem kerja Tanijoy?
Kami berbentuk platform, ada dashboard untuk pemilik lahan karena banyak sekali yang punya lahan, tapi dianggurin saja. Lebih baik diberdayakan oleh petani lokal. Hanya, sering kali pemilik lahan juga tidak mendapat hasil jujur bila bekerja sama langsung dengan petani. Maka kami bisa membantu para pemilik lahan. Kami membuat transparansi antara keduanya.
Kami menempatkan field manager yang stay di sana, memberdayakan sekaligus mengawasi pembuatan laporan. Memonitor petani langsung, misalnya ada proyek, dia yang bertanggung jawab untuk memprofilkan petani dan melaporkan dari awal penanaman hingga panen. Laporan real time yang dapat diterima pemilik lahan kapan saja, sehingga mudah memantaunya, kapan panen, pengeluaran sudah berapa dan digunakan untuk apa saja. Sampai kegiatan dari petani juga ada, mereka ngapain saja, ada laporannya.
Bagaimana perkembangan Tanijoy sekarang?
Sudah sembilan bulan kami berdiri. Kami sedang mengurus enam pemilik lahan dengan 25 petani. Ada dua lahan lagi yang akan bergabung, masih dalam tahap survei. Masih ada belasan juga pemilik lahan yang baru mendaftar. Semua harus kita lihat dulu. Tiga pemilik lahan berasal dari orang yang mengenal kami. Sisanya orang baru yang tertarik dengan konsep kami.
Apakah ada fitur baru lagi yang akan ditambah untuk menunjang kegiatan pertanian di Tanijoy?
Kami akan buka investasi online untuk pertanian. Jadi suka ada pemilik tanah 10 hektare, misalnya, tetapi dia hanya mampu membiayai untuk tiga hektar. Sisanya itu dia minta bantuan kepada kami untuk dicarikan investor. Akhirnya kami cari investor secara offline, orang terdekat kami saja. Ternyata masih kurang juga. Nanti kami akan buat platform online-nya.
Apa tantangan yang Anda dan teman-teman temui saat membuat Tanijoy?
Tantangannya secara teknis saja. Kalau teknologi kan yang penting offline-nya dulu jalan. Secara online bisa mengikuti, itu hanya mempermudah. Di offline-nya itu harus tahu risiko. Berurusan dengan alam, apa pun bisa terjadi. Tantangan di pasar juga yang paling berat. Harus tahu risiko harga pasar yang fluktuatif. Apalagi karena kami tanam sayur-sayuran serta cabai yang harganya kadang naik dan jatuh. Kalau harga sedang jatuh, kami harus siap berbuat apa. Kami juga berteman dengan tengkulak. Misalnya untuk cabai, kami pasok ke ritel dan restoran. Jika cabai tidak bagus, tengkulak masih mau beli.
Apa tanggapan petani dan perbedaan yang dirasakan setelah bergabung dengan Tanijoy?
Petani sangat senang ada Tanijoy yang membantu mereka. Mereka malah minta menambah lahan yang digarap dan menampung lebih banyak petani, karena kan dari mulut ke mulut tersebar kegiatan kami. Perbandingan kalau dari petani, mereka yang awalnya tertutup jadi terbuka. Yang awalnya bingung dalam alokasi pembagian dana atau keuangan keluarga, jadi lebih paham pengelolaannya. Jadi kami bikin sistem amplop namanya. Uang mereka kami bagi-bagi, misalnya satu amplop 20% untuk menabung, 30% untuk biaya pendidikan anak, dan 50% untuk kebutuhan sehari-hari.
Ada beberapa petani yang tidak bisa baca-tulis, waktu digelar acara pengajian ikutan, terus ya ngelatih mereka baca-tulis sedikit-sedikit. Yang kurang dari petani adalah manajemen keuangan, sehingga kami membuat metode sederhana yang dimengerti oleh mereka.
Nanda dan kedua temannya memang berharap kehadiran startup bernama Tanijoy yang mereka dirikan dapat membuat sektor pertanian lebih maju. Hal itu tentu diawali dari petani yang sejahtera dan berdaya. Bagaimana awal startup ini dibangun dan seperti apa sistem kerjanya? Apa pula impian sang founder untuk para petani melalui Tanijoy yang bisa diwujudkan? Inilah wawancara KORAN SINDO dengan Nanda.
Bagaimana awalnya terbesit ide untuk membantu petani?
Saya memang punya basic di pertanian. Tahun 2012 saya mulai coba menanam kopi karena suka minum kopi. Ya sekalian saja, buka lahan empat hektare di Sekarwangi Kabupaten Bogor, di situ saya mengenal petani lokal. Jadi, saya mempekerjakan beberapa petani. Dulu dibayar biasanya Rp20.000, tapi sekarang Rp30.000 untuk upah buruh hariannya.
Mereka merasa kurang bisa memenuhi kehidupan sehari-hari. Ada petani yang berinisiatif mau bercocok tanam sendiri. Tetapi untuk memulainya butuh modal. Sementara mereka tidak punya (modal). Mau pinjam ke saya, pada saat itu saya tidak punya uang. Akhirnya mereka meminjam ke tengkulak. Syaratnya mereka meminjam tidak dalam bentuk uang, namun kebutuhan pertanian seperti pupuk. Syarat lain, petani harus jual hasil tani mereka ke tengkulak dengan harga yang ditentukan oleh mereka, pasti lebih murah.
Sering kali petani rugi, tidak balik modal atau pas-pasan. Apalagi jika gagal panen, berarti utangnya tertahan, tidak ada yang bisa dibayar. Parahnya lagi, mereka tidak memegang uang sehingga harus menunggu bagi hasil. Jadi selama tiga bulan, mereka puasa atau kembali meminjam. Tutup lubang gali lubang. Dari situ saya tahu pasti bagaimana kehidupan petani sesungguhnya.
Apa saja masalah petani kecil?
Masalah lahan. Mereka belum punya lahan sendiri. Sebenarnya ada banyak lahan, tetapi sudah dibeli oleh warga di perkotaan. Petani biasanya memanfaatkan tanah milik orang kota tersebut. Salahnya memang tidak meminta izin. Kalau pemiliknya datang, kebetulan ingin membangun vila, biasanya ada konflik atau paling tidak tanaman yang sudah ditanam berbulan-bulan harus digusur. Permodalan juga menjadi masalah. Memang banyak yang mau bantu, tapi tidak adil. Petani butuh sumber modal yang saling menguntungkan.
Bagaimana Tanijoy akhirnya hadir?
Saya bersama teman-teman saya, Kukuh Budi Santoso dan Febrian Imanda Effendi, ingin membuat sesuatu untuk petani. Mereka punya pengalaman di gerakan sosial dan aktif pada pemberdayaan desa. Kami berdiskusi sampai tinggal di kebun untuk tanya-tanya langsung kepada petani, apa saja yang mereka butuhkan. Survei Februari 2017 dan mulai proyek April 2017.
Bisa dijelaskan sistem kerja Tanijoy?
Kami berbentuk platform, ada dashboard untuk pemilik lahan karena banyak sekali yang punya lahan, tapi dianggurin saja. Lebih baik diberdayakan oleh petani lokal. Hanya, sering kali pemilik lahan juga tidak mendapat hasil jujur bila bekerja sama langsung dengan petani. Maka kami bisa membantu para pemilik lahan. Kami membuat transparansi antara keduanya.
Kami menempatkan field manager yang stay di sana, memberdayakan sekaligus mengawasi pembuatan laporan. Memonitor petani langsung, misalnya ada proyek, dia yang bertanggung jawab untuk memprofilkan petani dan melaporkan dari awal penanaman hingga panen. Laporan real time yang dapat diterima pemilik lahan kapan saja, sehingga mudah memantaunya, kapan panen, pengeluaran sudah berapa dan digunakan untuk apa saja. Sampai kegiatan dari petani juga ada, mereka ngapain saja, ada laporannya.
Bagaimana perkembangan Tanijoy sekarang?
Sudah sembilan bulan kami berdiri. Kami sedang mengurus enam pemilik lahan dengan 25 petani. Ada dua lahan lagi yang akan bergabung, masih dalam tahap survei. Masih ada belasan juga pemilik lahan yang baru mendaftar. Semua harus kita lihat dulu. Tiga pemilik lahan berasal dari orang yang mengenal kami. Sisanya orang baru yang tertarik dengan konsep kami.
Apakah ada fitur baru lagi yang akan ditambah untuk menunjang kegiatan pertanian di Tanijoy?
Kami akan buka investasi online untuk pertanian. Jadi suka ada pemilik tanah 10 hektare, misalnya, tetapi dia hanya mampu membiayai untuk tiga hektar. Sisanya itu dia minta bantuan kepada kami untuk dicarikan investor. Akhirnya kami cari investor secara offline, orang terdekat kami saja. Ternyata masih kurang juga. Nanti kami akan buat platform online-nya.
Apa tantangan yang Anda dan teman-teman temui saat membuat Tanijoy?
Tantangannya secara teknis saja. Kalau teknologi kan yang penting offline-nya dulu jalan. Secara online bisa mengikuti, itu hanya mempermudah. Di offline-nya itu harus tahu risiko. Berurusan dengan alam, apa pun bisa terjadi. Tantangan di pasar juga yang paling berat. Harus tahu risiko harga pasar yang fluktuatif. Apalagi karena kami tanam sayur-sayuran serta cabai yang harganya kadang naik dan jatuh. Kalau harga sedang jatuh, kami harus siap berbuat apa. Kami juga berteman dengan tengkulak. Misalnya untuk cabai, kami pasok ke ritel dan restoran. Jika cabai tidak bagus, tengkulak masih mau beli.
Apa tanggapan petani dan perbedaan yang dirasakan setelah bergabung dengan Tanijoy?
Petani sangat senang ada Tanijoy yang membantu mereka. Mereka malah minta menambah lahan yang digarap dan menampung lebih banyak petani, karena kan dari mulut ke mulut tersebar kegiatan kami. Perbandingan kalau dari petani, mereka yang awalnya tertutup jadi terbuka. Yang awalnya bingung dalam alokasi pembagian dana atau keuangan keluarga, jadi lebih paham pengelolaannya. Jadi kami bikin sistem amplop namanya. Uang mereka kami bagi-bagi, misalnya satu amplop 20% untuk menabung, 30% untuk biaya pendidikan anak, dan 50% untuk kebutuhan sehari-hari.
Ada beberapa petani yang tidak bisa baca-tulis, waktu digelar acara pengajian ikutan, terus ya ngelatih mereka baca-tulis sedikit-sedikit. Yang kurang dari petani adalah manajemen keuangan, sehingga kami membuat metode sederhana yang dimengerti oleh mereka.
(amm)