Awal Mula Lahirnya Baidu, Ini Cerita Lengkapnya
A
A
A
ROBIN Li lahir di Yanhong pada 1968, kota yang terletak di barat daya Beijing. Lahir miskin, namun ia cukup cerdas untuk masuk ke sekolah paling bergengsi di negara itu, Universitas Beijing, tempat dia berkecimpung dalam ilmu komputer.
Namun, saat terjadi demonstrasi di Lapangan Tiananmen pada 1989 silam, pemerintah China memutuskan untuk menutup kampus tersebut. Setahun kemudian dia mulai berpikir untuk belajar di luar negeri. Saat dia lulus pada 1991, Li siap meninggalkan China. Menurutnya, China adalah tempat yang menyedihkan karena tidak memiliki harapan.
Dia pun mendaftar ke tiga program pascasarjana teratas dalam ilmu komputer di Amerika. Dari 20 lamaran ke berbagai universitas, hanya SUNY Buffalo yang menerimanya. Li masuk ke sana dan mendapatkan gelar PhD ilmu komputer.
Dia kemudian menyelesaikan gelar masternya pada 1994 dan bergabung dengan divisi New Jersey dari Dow Jones & Company. Di perusahaan ini dia membantu mengembangkan program perangkat lunak untuk edisi online The Wall Street Journal. Dia pun terpikat pada era meledaknya teknologi yang terbentuk di Silicon Valley.
Dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memecahkan salah satu masalah awal industri Internet: memilah informasi. Terobosan datang pada 1996 ketika dia mengembangkan mekanisme pencarian yang dia sebut "analisis tautan", yang melibatkan penentuan peringkat popularitas Web situs berdasarkan berapa banyak situs web lain yang terkait dengannya.
William I Chang, yang saat itu adalah chief technology officer di Infoseek, bertemu dengan Li di sebuah konferensi dan merekrutnya untuk mengawasi pengembangan mesin pencari. Namun, kisah sesungguhnya Baidu berawal pada musim panas 1998 di Silicon Valley.
Li pada waktu itu sudah bosan di Infoseek. Setahun berikutnya, ia mendirikan perusahaan pencari sendiri di China, menamainya Baidu. Baidu melakukan apa yang tidak bisa dilakukan perusahaan internet lain: meneror Google dan Yahoo di pasar mereka sendiri.
Dengan pemerintah China yang acap melarang pertumbuhan internet di negaranya, dia pun harus berjuang mengembangkan Baidu. Namun, dengan penduduk China mencapai populasi 1,3 miliar, dan sekira 130 juta di antaranya adalah pengguna internet, maka China menjadi pasar online yang terbesar setelah Amerika.
Baidu berhasil meyakinkan pemerintah China untuk membantu mereka melakukan sensor di situs webnya. Baidu pun mendominasi situs pencari di China karena mendapat dukungan dari pemerintah China dan memblokir Google.
Baidu Besar Bukan karena Google Pergi
Robin Li membantah bahwa sukses Baidu di China saat ini karena pemerintah China mendepak Google dari negara tersebut. Menurut Li, perusahaan mesin pencari yang ia dirikan bisa mendominasi pasar karena kemampuannya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Tiongkok.
"Ini harus diluruskan. Karena saya sering ditanya soal hal ini. Dan itu tidak benar," katanya.
Google Inc memang menghentikan operasi mereka di China daratan pada 2010. Ada dua penyebabnya. Pertama, karena serangan siber yang gencar dilakukan terhadap pengguna Gmail, juga cekcok dengan pemerintah China terkait sensor dari hasil pencarian.
Setahun sebelum Google hengkang itu pun, Baidu sudah mendominasi market share mesin pencari di Tiongkok sebesar 60%. Sementara market share Google hanya 33%. Baidu memang sangat agresif dalam menghubungkan berbagai layanan offline ke internet.
Misalnya layanan pengiriman makanan hingga pembelian tiket bioskop. Namun, Li menyebut bahwa dirinya tidak pernah tenang dan terus berupaya mengembangkan layanan. Ia selalu yakin bahwa suatu saat akan ada startup yang layanannya dapat segera menggantikan core business Baidu di bidang mesin pencari.
"Suatu hari nanti mesin pencari tidak berguna seiring banyaknya pengguna internet di China menggunakan aplikasi mobile di ponsel dibandingkan peramban web," katanya.
Dari 620 juta pengguna internet di China, 90% di antaranya memiliki akses ke mobile (data 2015). "Saya selalu mengamati perkembangan startup di China. Mereka bisa membesar dan terus mengikis bisnis Anda, dan menggantikan Anda dengan cepat," katanya.
Otak di Balik Kebangkitan Baidu
Pendiri Baidu, Robin Li, tidak puas dengan pencapaian Baidu "hanya" sebagai mesin pencari terbesar di China. Fokus barunya adalah bidang baru yang sedang diperebutkan semua raksasa teknologi dunia: kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Investor sangat antusias terhadap hal itu. Pada awal 2017 saham Baidu diperdagangkan senilai USD168. Sekarang sudah meningkat jadi USD270 dan diprediksi menembus USD300. Menurut Li, kecerdasan buatan adalah pasar potensial yang luar biasa.
"Sedangkan Baidu, sejak awal didirikan sangat fokus di riset, juga punya keinginan besar untuk sukses," imbuhnya. "Setiap perusahaan memiliki DNA-nya sendiri, dan Baidu adalah perusahaan teknologi," tambahnya.
Menurut Li, Baidu memang sukses pada era desktop, mendominasi mesin pencari di Tiongkok. Namun, pada era mobile, tantangannya jauh lebih rumit. "Pada era mobile Anda harus menciptakan ekosistem/platform sendiri agar orang dapat membuat konten untuk Anda," sebutnya.
Di sinilah Baidu mendapatkan tantangan dari perusahaan seperti Google dan Apple. Nah, pada era kecerdasan buatan, Baidu kembali melihat kesempatan besar. "Kita telah memasuki era baru, era kecerdasan buatan, dan teknologi menjadi penting lagi," katanya. "Anda butuh bahasa terbaik untuk memproses teknologi, butuh teknologi pemroses gambar terbaik, teknologi menganalisis data terbaik, dan kami sangat menguasai bidang-bidang itu," bebernya.
Ketika pengguna mengetikkan kata pencarian atau query, misalnya, Baidu akan mencoba menebak apa maksudnya dan menyediakan jawaban terbaik dari kata pencarian itu. "Nah, itu merupakan bagian dari kecerdasan buatan, di mana komputer dapat memahami manusia dan memberikan jawaban atau layanan tertentu," katanya.
Baidu menginvestasikan 15% dari pendapatan perusahaan untuk riset dan pengembangan (R&D). Tepatnya senilai USD1,5 miliar. "Mungkin yang terbesar di antara perusahaan China lainnya," katanya. "Hampir semuanya melibatkan kecerdasan buatan," ia menambahkan.
Namun, saat terjadi demonstrasi di Lapangan Tiananmen pada 1989 silam, pemerintah China memutuskan untuk menutup kampus tersebut. Setahun kemudian dia mulai berpikir untuk belajar di luar negeri. Saat dia lulus pada 1991, Li siap meninggalkan China. Menurutnya, China adalah tempat yang menyedihkan karena tidak memiliki harapan.
Dia pun mendaftar ke tiga program pascasarjana teratas dalam ilmu komputer di Amerika. Dari 20 lamaran ke berbagai universitas, hanya SUNY Buffalo yang menerimanya. Li masuk ke sana dan mendapatkan gelar PhD ilmu komputer.
Dia kemudian menyelesaikan gelar masternya pada 1994 dan bergabung dengan divisi New Jersey dari Dow Jones & Company. Di perusahaan ini dia membantu mengembangkan program perangkat lunak untuk edisi online The Wall Street Journal. Dia pun terpikat pada era meledaknya teknologi yang terbentuk di Silicon Valley.
Dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memecahkan salah satu masalah awal industri Internet: memilah informasi. Terobosan datang pada 1996 ketika dia mengembangkan mekanisme pencarian yang dia sebut "analisis tautan", yang melibatkan penentuan peringkat popularitas Web situs berdasarkan berapa banyak situs web lain yang terkait dengannya.
William I Chang, yang saat itu adalah chief technology officer di Infoseek, bertemu dengan Li di sebuah konferensi dan merekrutnya untuk mengawasi pengembangan mesin pencari. Namun, kisah sesungguhnya Baidu berawal pada musim panas 1998 di Silicon Valley.
Li pada waktu itu sudah bosan di Infoseek. Setahun berikutnya, ia mendirikan perusahaan pencari sendiri di China, menamainya Baidu. Baidu melakukan apa yang tidak bisa dilakukan perusahaan internet lain: meneror Google dan Yahoo di pasar mereka sendiri.
Dengan pemerintah China yang acap melarang pertumbuhan internet di negaranya, dia pun harus berjuang mengembangkan Baidu. Namun, dengan penduduk China mencapai populasi 1,3 miliar, dan sekira 130 juta di antaranya adalah pengguna internet, maka China menjadi pasar online yang terbesar setelah Amerika.
Baidu berhasil meyakinkan pemerintah China untuk membantu mereka melakukan sensor di situs webnya. Baidu pun mendominasi situs pencari di China karena mendapat dukungan dari pemerintah China dan memblokir Google.
Baidu Besar Bukan karena Google Pergi
Robin Li membantah bahwa sukses Baidu di China saat ini karena pemerintah China mendepak Google dari negara tersebut. Menurut Li, perusahaan mesin pencari yang ia dirikan bisa mendominasi pasar karena kemampuannya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Tiongkok.
"Ini harus diluruskan. Karena saya sering ditanya soal hal ini. Dan itu tidak benar," katanya.
Google Inc memang menghentikan operasi mereka di China daratan pada 2010. Ada dua penyebabnya. Pertama, karena serangan siber yang gencar dilakukan terhadap pengguna Gmail, juga cekcok dengan pemerintah China terkait sensor dari hasil pencarian.
Setahun sebelum Google hengkang itu pun, Baidu sudah mendominasi market share mesin pencari di Tiongkok sebesar 60%. Sementara market share Google hanya 33%. Baidu memang sangat agresif dalam menghubungkan berbagai layanan offline ke internet.
Misalnya layanan pengiriman makanan hingga pembelian tiket bioskop. Namun, Li menyebut bahwa dirinya tidak pernah tenang dan terus berupaya mengembangkan layanan. Ia selalu yakin bahwa suatu saat akan ada startup yang layanannya dapat segera menggantikan core business Baidu di bidang mesin pencari.
"Suatu hari nanti mesin pencari tidak berguna seiring banyaknya pengguna internet di China menggunakan aplikasi mobile di ponsel dibandingkan peramban web," katanya.
Dari 620 juta pengguna internet di China, 90% di antaranya memiliki akses ke mobile (data 2015). "Saya selalu mengamati perkembangan startup di China. Mereka bisa membesar dan terus mengikis bisnis Anda, dan menggantikan Anda dengan cepat," katanya.
Otak di Balik Kebangkitan Baidu
Pendiri Baidu, Robin Li, tidak puas dengan pencapaian Baidu "hanya" sebagai mesin pencari terbesar di China. Fokus barunya adalah bidang baru yang sedang diperebutkan semua raksasa teknologi dunia: kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Investor sangat antusias terhadap hal itu. Pada awal 2017 saham Baidu diperdagangkan senilai USD168. Sekarang sudah meningkat jadi USD270 dan diprediksi menembus USD300. Menurut Li, kecerdasan buatan adalah pasar potensial yang luar biasa.
"Sedangkan Baidu, sejak awal didirikan sangat fokus di riset, juga punya keinginan besar untuk sukses," imbuhnya. "Setiap perusahaan memiliki DNA-nya sendiri, dan Baidu adalah perusahaan teknologi," tambahnya.
Menurut Li, Baidu memang sukses pada era desktop, mendominasi mesin pencari di Tiongkok. Namun, pada era mobile, tantangannya jauh lebih rumit. "Pada era mobile Anda harus menciptakan ekosistem/platform sendiri agar orang dapat membuat konten untuk Anda," sebutnya.
Di sinilah Baidu mendapatkan tantangan dari perusahaan seperti Google dan Apple. Nah, pada era kecerdasan buatan, Baidu kembali melihat kesempatan besar. "Kita telah memasuki era baru, era kecerdasan buatan, dan teknologi menjadi penting lagi," katanya. "Anda butuh bahasa terbaik untuk memproses teknologi, butuh teknologi pemroses gambar terbaik, teknologi menganalisis data terbaik, dan kami sangat menguasai bidang-bidang itu," bebernya.
Ketika pengguna mengetikkan kata pencarian atau query, misalnya, Baidu akan mencoba menebak apa maksudnya dan menyediakan jawaban terbaik dari kata pencarian itu. "Nah, itu merupakan bagian dari kecerdasan buatan, di mana komputer dapat memahami manusia dan memberikan jawaban atau layanan tertentu," katanya.
Baidu menginvestasikan 15% dari pendapatan perusahaan untuk riset dan pengembangan (R&D). Tepatnya senilai USD1,5 miliar. "Mungkin yang terbesar di antara perusahaan China lainnya," katanya. "Hampir semuanya melibatkan kecerdasan buatan," ia menambahkan.
(amm)