Gunakan Single Mux, Kehidupan Demokrasi di Indonesia Dinilai Mundur
A
A
A
JAKARTA - Konsep Single Mux seandainya diterapkan, maka hal itu menandai kemunduran kehidupan demokrasi di Indonesia, khususnya di bidang penyiaran. Penerapan single mux operator yang hanya sekedar mengejar peningkatan PNBP dengan mengorbankan demokrasi penyiaran yang telah dibangun dengan susah payah merupakan biaya sosial yang sangat mahal.
"Bukan hanya mengarah pada ancaman monopoli, tetapi proses digitalisasi yang semula diharapkan akan terlaksana dengan lebih cepat, menjadi lambat karena mux operator harus mengakomodasi banyaknya media televisi FTA yang tentunya akan membutuhkan kapasitas infrastruktur multipleksing (menara, antena, dan lain-lain) dalam jumlah yang sangat besar. Sementara infrastruktur televisi analog yang dimiliki oleh LPS menjadi tidak bermanfaat lagi," jelas Kamilov Sagala, S.H., M.H, Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII).
Dalam Pasal 20 ayat (1) RUU Penyiaran jelas menyebutkan bahwa “Model migrasi dari penyiaran analog ke digital adalah multiplekser tunggal”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan pula bahwa “Frekuensi dikuasai oleh negara dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah”.
Sementara jika frekuensi siaran (slot/kanal) nantinya diserahkan atau dikuasai oleh satu pihak (otoritas tunggal) dalam hal ini Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI), maka sangat besar potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
LPS menjadi tidak memiliki kemerdekaan dalam publikasi konten karena berada di bawah bayang-bayang kekuasaan mux operator serta tidak adanya jaminan terlaksananya service level agreement baik terhadap penggunaan slot atau kanal pada infrastuktur multipleksing yang dikelola oleh operator tunggal. Penguasaan mux operator atas faktor inilah yang mengarah pada perbuatan monopoli dan jelas mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Selain single mux operator, sebenarnya masih ada pilihan lain sebagai solusi terkait perdebatan panjang dalam RUU Penyiaran, yakni sistem hybrid. Penerapan sistem hybrid dalam penyelenggaraan penyiaran multipleksing merupakan bentuk nyata demokratisasi penyiaran, di mana LPP dan LPS akan menjadi operator atau penyelenggara multipleksing akan mengakomodir kepentingan seluruh media penyiaran televisi FTA, baik yang memiliki kepentingan komersial maupun yang tidak.
Sistem ini akan menjamin ketersediaan kanal untuk program-program baru (ketersediaan frekuensi untuk penyiaran analog terbatas) menjadi bertambah, termasuk untuk mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran masa depan seperti UHD4K, dan UHD 8K bahkan teknologi Hybrid Broadband Broadcast Television (HbbTV) yang memungkinkan diselenggarakannya layanan M to M application dan interactive yang saat ini sedang diujicobakan di Jerman dan Polandia. Ketersediaan frekuensi untuk system hybrid ini tetap mencukupi untuk mengakomodasi siaran LPS, antisipasi perkembangan teknologi ke depan, maupun digital deviden.
"Bukan hanya mengarah pada ancaman monopoli, tetapi proses digitalisasi yang semula diharapkan akan terlaksana dengan lebih cepat, menjadi lambat karena mux operator harus mengakomodasi banyaknya media televisi FTA yang tentunya akan membutuhkan kapasitas infrastruktur multipleksing (menara, antena, dan lain-lain) dalam jumlah yang sangat besar. Sementara infrastruktur televisi analog yang dimiliki oleh LPS menjadi tidak bermanfaat lagi," jelas Kamilov Sagala, S.H., M.H, Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII).
Dalam Pasal 20 ayat (1) RUU Penyiaran jelas menyebutkan bahwa “Model migrasi dari penyiaran analog ke digital adalah multiplekser tunggal”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan pula bahwa “Frekuensi dikuasai oleh negara dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah”.
Sementara jika frekuensi siaran (slot/kanal) nantinya diserahkan atau dikuasai oleh satu pihak (otoritas tunggal) dalam hal ini Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI), maka sangat besar potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
LPS menjadi tidak memiliki kemerdekaan dalam publikasi konten karena berada di bawah bayang-bayang kekuasaan mux operator serta tidak adanya jaminan terlaksananya service level agreement baik terhadap penggunaan slot atau kanal pada infrastuktur multipleksing yang dikelola oleh operator tunggal. Penguasaan mux operator atas faktor inilah yang mengarah pada perbuatan monopoli dan jelas mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Selain single mux operator, sebenarnya masih ada pilihan lain sebagai solusi terkait perdebatan panjang dalam RUU Penyiaran, yakni sistem hybrid. Penerapan sistem hybrid dalam penyelenggaraan penyiaran multipleksing merupakan bentuk nyata demokratisasi penyiaran, di mana LPP dan LPS akan menjadi operator atau penyelenggara multipleksing akan mengakomodir kepentingan seluruh media penyiaran televisi FTA, baik yang memiliki kepentingan komersial maupun yang tidak.
Sistem ini akan menjamin ketersediaan kanal untuk program-program baru (ketersediaan frekuensi untuk penyiaran analog terbatas) menjadi bertambah, termasuk untuk mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran masa depan seperti UHD4K, dan UHD 8K bahkan teknologi Hybrid Broadband Broadcast Television (HbbTV) yang memungkinkan diselenggarakannya layanan M to M application dan interactive yang saat ini sedang diujicobakan di Jerman dan Polandia. Ketersediaan frekuensi untuk system hybrid ini tetap mencukupi untuk mengakomodasi siaran LPS, antisipasi perkembangan teknologi ke depan, maupun digital deviden.
(wbs)