Bahaya Ponsel Black Market, Disisipi Malware Pencuri Data Nasabah
A
A
A
JAKARTA - Kejahatan yang menyasar nasabah perbankan semakin marak di seluruh dunia. Salah satu caranya adalah dengan mencuri data nasabah lewat handphone (HP) alias ponsel yang terinfeksi malware.
Malaware bisa mengambil data, bahkan memodifikasi proses finansial pada ponsel pintar (smartphone), baik lewat SMS banking, mobile banking maupun internet banking.
Kemungkinan malware menyerang ponsel pintar bertambah besar di Tanah Air karena maraknya peredaran ponsel black market (dijual pasar gelap/ilegal), khususnya android. Hal ini seiring beberapa tipe ponsel laris tidak bisa masuk ke Indonesia, terbentur regulasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian.
Pakar keamanan cyber Pratama Persadha memandang banyaknya ponsel pintar 4G black market (BM) sebenarnya sangat membahayakan konsumen, meskipun dijual dengan harga relatif lebih murah. Terutama terkait keamanan pada operating system, khususnya android yang punya kemungkinan telah dimodifikasi pihak ketiga.
“Kita tahu bersama android ini sistem terbuka. Jadi siapapun sebenarnya bisa memodifikasi OS bawaan dengan berbagai macam tujuan. Bila ada malware yang disisipkan ini sangat berbahaya, karena jelas akan merugikan konsumen,” ujarnya, dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (28/2/2017).
Pratama menyebutkan, ponsel pintar black market terutama dengan OS Android seharusnya membawa OS Stock bukan OS distributor atau pihak ketiga. OS Stock adalah OS Android resmi bawaan dari produsen, sehingga bisa dibilang aman.
Sementara OS distributor, lanjut dia, sering disebut dengan OS abal-abal, karena biasanya tidak stabil dan sering dituduh menyertakan malware untuk kepentingan iklan.
“Ponsel BM ini kalau kita lihat di pasaran banyak juga memakai OS abal-abal. Jelas ini memperbesar kemungkinan data kita dicuri. Apalagi bila kita melakukan transaksi keuangan lewat ponsel, besar kemungkinan data diambil dan proses transaksi diubah,” jelas Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Selain itu, kata Pratama, keberadaan malware bawaan mengakibatkan adanya spam iklan, serta membuat baterai dan penggunaan data lebih boros. Namun, paling berbahaya adalah malware tersebut bisa mengumpulkan data pengguna, terutama aktivitas perbankan yang menggunakan SMS dan internet banking.
“Sebaiknya pemerintah tegas, karena selain membahayakan masyarakat Indonesia sebagai konsumen, ponsel BM ini juga membuat negara kehilangan pajak cukup besar,” tegas mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini.
Pria asal Cepu Jawa Tenah tersebut menilai penggunaan ponsel pintar black market dalam jumlah besar bisa ikut meningkatkan jumlah fraud dalam transaksi perbankan. Meski saat ini masih sangat kecil, namun sebaiknya pemerintah mulai memberikan perhatian lebih serius.
Malaware bisa mengambil data, bahkan memodifikasi proses finansial pada ponsel pintar (smartphone), baik lewat SMS banking, mobile banking maupun internet banking.
Kemungkinan malware menyerang ponsel pintar bertambah besar di Tanah Air karena maraknya peredaran ponsel black market (dijual pasar gelap/ilegal), khususnya android. Hal ini seiring beberapa tipe ponsel laris tidak bisa masuk ke Indonesia, terbentur regulasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian.
Pakar keamanan cyber Pratama Persadha memandang banyaknya ponsel pintar 4G black market (BM) sebenarnya sangat membahayakan konsumen, meskipun dijual dengan harga relatif lebih murah. Terutama terkait keamanan pada operating system, khususnya android yang punya kemungkinan telah dimodifikasi pihak ketiga.
“Kita tahu bersama android ini sistem terbuka. Jadi siapapun sebenarnya bisa memodifikasi OS bawaan dengan berbagai macam tujuan. Bila ada malware yang disisipkan ini sangat berbahaya, karena jelas akan merugikan konsumen,” ujarnya, dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (28/2/2017).
Pratama menyebutkan, ponsel pintar black market terutama dengan OS Android seharusnya membawa OS Stock bukan OS distributor atau pihak ketiga. OS Stock adalah OS Android resmi bawaan dari produsen, sehingga bisa dibilang aman.
Sementara OS distributor, lanjut dia, sering disebut dengan OS abal-abal, karena biasanya tidak stabil dan sering dituduh menyertakan malware untuk kepentingan iklan.
“Ponsel BM ini kalau kita lihat di pasaran banyak juga memakai OS abal-abal. Jelas ini memperbesar kemungkinan data kita dicuri. Apalagi bila kita melakukan transaksi keuangan lewat ponsel, besar kemungkinan data diambil dan proses transaksi diubah,” jelas Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Selain itu, kata Pratama, keberadaan malware bawaan mengakibatkan adanya spam iklan, serta membuat baterai dan penggunaan data lebih boros. Namun, paling berbahaya adalah malware tersebut bisa mengumpulkan data pengguna, terutama aktivitas perbankan yang menggunakan SMS dan internet banking.
“Sebaiknya pemerintah tegas, karena selain membahayakan masyarakat Indonesia sebagai konsumen, ponsel BM ini juga membuat negara kehilangan pajak cukup besar,” tegas mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini.
Pria asal Cepu Jawa Tenah tersebut menilai penggunaan ponsel pintar black market dalam jumlah besar bisa ikut meningkatkan jumlah fraud dalam transaksi perbankan. Meski saat ini masih sangat kecil, namun sebaiknya pemerintah mulai memberikan perhatian lebih serius.
(dmd)