Maksimalkan Talenta Programmer melalui Microservice
A
A
A
JAKARTA - Peningkatan teknologi informasi (IT) berkaitan dengan perkembangan startup (perusahaan rintisan) di Indonesia. Tren yang terus bergerak di dunia TI menjadi pertimbangan dalam membangun perusahaan startup, yaitu bahasa pemrograman, database, infrastruktur, dan lainnya.
Technology Evangelist KUDO, Trio Purnomo mengemukakan, perkembangan tren ini menuntut para pekerja TI selalu mengikuti hal terbaru yang bisa diimplementasikan dalam startup. Mengantisipasi perubahan dan perkembangan tren ini, tidak jarang ditemui tantangan yang dapat berdampak langsung pada kualitas layanan sebuah startup. Karena itu, dibutuhkan terbangunnya sebuah kultur dan infrastruktur yang dinamis dalam mengadopsi teknologi baru.
"Dalam membangun sebuah sistem TI dikenal istilah arsitektur monolitik, yaitu sistem ketika aspek fungsional dari sistem tidak dipisahkan dalam komponen-komponen yang lebih kecil," ujarnya, dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (10/1/2016).
Dia menuturkan, pada umumnya di fase awal sebuah startup akan menggunakan arsitektur ini. Hal tersebut dikarenakan jumlah tim yang masih sedikit dan dituntut untuk menghasilkan produk dengan cepat, serta sistem yang dibuat biasanya masih relatif sederhana.
"Tantangan mulai timbul ketika startup mulai berkembang, yaitu dengan tim yang semakin banyak, sistem semakin kompleks, dan traffic ke website atau aplikasi yang semakin meningkat. Pada fase inilah biasanya startup mulai memikirkan masalah skalabilitas," paparnya.
Untuk meningkatkan skalabilitas dalam arsitektur monolitik, lanjut Trio, diperlukan penambahan kapasitas sistem dengan menambah kapasitas server yang terkadang membutuhkan biaya tidak sedikit. Selain biaya, sistem monolitik juga memiliki kelemahan dalam proses kolaborasi antar tim.
"Salah satu contohnya adalah pada saat ada rencana rilis terbaru yang telah disepakati dengan fitur tambahan yang akan dibuat, namun ada salah satu fitur yang mengalami kendala di waktu rilis yang ditentukan. Hal seperti ini dapat menunda rilis secara keseluruhan," terangnya.
Dia mengatakan, KUDO sebagai startup teknologi, dengan pelopor business model O2O (online to offline), selalu berupaya untuk memberikan yang terbaik pada kemajuan teknologi di Indonesia. Hal ini direalisasikan dengan melakukan proses migrasi dari arsitektur monolitik ke microservice.
"Arsitektur microservice memiliki keunggulan utama yang berdampak positif bagi perkembangan dalam sistem teknologi, yaitu language agnostic," imbuh Trio.
Dia menjelaskan migrasi ke arsitektur microservice memberikan kemudahan membangun sebuah sistem tanpa bergantung pada satu bahasa pemrograman yang memiliki dampak positif dalam mengadopsi teknologi baru dengan tidak mengubah keseluruhan sistem. Hal ini secara tidak langsung dapat mengembangkan kultur KUDO yang dinamis di dalam bidang teknologi dan selalu siap dengan perubahan teknologi.
"Migrasi ini juga turut mempermudah tim Human Capital KUDO dalam mencari talenta-talenta programmer baru. Jika sebelumnya pada arsitektur monolitik suatu sistem dibuat menggunakan satu bahasa pemrograman, dengan microservice dapat dipecah-pecah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, dan bagian-bagian kecil ini bisa dibangun dengan beragam bahasa pemrograman," paparnya.
Karena itu, kata Trio, talenta programmer dengan berbagai macam latar belakang bahasa pemrograman dapat bekerja sama membangun KUDO menjadi lebih baik.
Melihat manfaat yang dapat diberikan arsitektur microservice ini, membuat KUDO semakin optimistis dalam mengembangkan teknologi dan bisnisnya untuk mencapai misi memberdayakan 1 juta pengusaha digital pada 2018, serta memberi peluang jutaan orang Indonesia untuk berbelanja online.
Technology Evangelist KUDO, Trio Purnomo mengemukakan, perkembangan tren ini menuntut para pekerja TI selalu mengikuti hal terbaru yang bisa diimplementasikan dalam startup. Mengantisipasi perubahan dan perkembangan tren ini, tidak jarang ditemui tantangan yang dapat berdampak langsung pada kualitas layanan sebuah startup. Karena itu, dibutuhkan terbangunnya sebuah kultur dan infrastruktur yang dinamis dalam mengadopsi teknologi baru.
"Dalam membangun sebuah sistem TI dikenal istilah arsitektur monolitik, yaitu sistem ketika aspek fungsional dari sistem tidak dipisahkan dalam komponen-komponen yang lebih kecil," ujarnya, dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (10/1/2016).
Dia menuturkan, pada umumnya di fase awal sebuah startup akan menggunakan arsitektur ini. Hal tersebut dikarenakan jumlah tim yang masih sedikit dan dituntut untuk menghasilkan produk dengan cepat, serta sistem yang dibuat biasanya masih relatif sederhana.
"Tantangan mulai timbul ketika startup mulai berkembang, yaitu dengan tim yang semakin banyak, sistem semakin kompleks, dan traffic ke website atau aplikasi yang semakin meningkat. Pada fase inilah biasanya startup mulai memikirkan masalah skalabilitas," paparnya.
Untuk meningkatkan skalabilitas dalam arsitektur monolitik, lanjut Trio, diperlukan penambahan kapasitas sistem dengan menambah kapasitas server yang terkadang membutuhkan biaya tidak sedikit. Selain biaya, sistem monolitik juga memiliki kelemahan dalam proses kolaborasi antar tim.
"Salah satu contohnya adalah pada saat ada rencana rilis terbaru yang telah disepakati dengan fitur tambahan yang akan dibuat, namun ada salah satu fitur yang mengalami kendala di waktu rilis yang ditentukan. Hal seperti ini dapat menunda rilis secara keseluruhan," terangnya.
Dia mengatakan, KUDO sebagai startup teknologi, dengan pelopor business model O2O (online to offline), selalu berupaya untuk memberikan yang terbaik pada kemajuan teknologi di Indonesia. Hal ini direalisasikan dengan melakukan proses migrasi dari arsitektur monolitik ke microservice.
"Arsitektur microservice memiliki keunggulan utama yang berdampak positif bagi perkembangan dalam sistem teknologi, yaitu language agnostic," imbuh Trio.
Dia menjelaskan migrasi ke arsitektur microservice memberikan kemudahan membangun sebuah sistem tanpa bergantung pada satu bahasa pemrograman yang memiliki dampak positif dalam mengadopsi teknologi baru dengan tidak mengubah keseluruhan sistem. Hal ini secara tidak langsung dapat mengembangkan kultur KUDO yang dinamis di dalam bidang teknologi dan selalu siap dengan perubahan teknologi.
"Migrasi ini juga turut mempermudah tim Human Capital KUDO dalam mencari talenta-talenta programmer baru. Jika sebelumnya pada arsitektur monolitik suatu sistem dibuat menggunakan satu bahasa pemrograman, dengan microservice dapat dipecah-pecah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, dan bagian-bagian kecil ini bisa dibangun dengan beragam bahasa pemrograman," paparnya.
Karena itu, kata Trio, talenta programmer dengan berbagai macam latar belakang bahasa pemrograman dapat bekerja sama membangun KUDO menjadi lebih baik.
Melihat manfaat yang dapat diberikan arsitektur microservice ini, membuat KUDO semakin optimistis dalam mengembangkan teknologi dan bisnisnya untuk mencapai misi memberdayakan 1 juta pengusaha digital pada 2018, serta memberi peluang jutaan orang Indonesia untuk berbelanja online.
(dmd)