IATA Sosialisasi Penggunaan Baterai Lithium di Pesawat
A
A
A
JAKARTA - International Air Transport Associations (IATA) atau asosiasi maskapai penerbangan internasional menggelar sosialisasi penggunaan baterai jenis ion lithium secara marathon melalui Lembaga Pengembangan Manajemen TransportasiTransportasi dan Logistik (LPMTL) Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti.
Direktur LPMTL, Salahuddin Rafi mengatakan, kasus terbakarnya baterai jenis ion lithium pada beberapa penerbangan, belum banyak dipahami masyarakat penerbangan di dalam negeri. Menurut dia, penggunaan baterai ion lithium digunakan dalam berbagai perangkat produk seperti ponsel, laptop maupun mobil dengan lithium terbatas.
"Penggunaan ion lithium bahkan digunakan dalam charger mobile seperti power bank. Jadi, IATA melarang penggunaan ion lihtium dalam batas tertentu. Larangan itu bukan menekankan merek handphone atau smartphone, ini yang menjadi salah kaprah selama ini," kata dia dalam lokakarya bertajuk IATA Danggerous Goods Workshop di Jakarta, Senin (14/11/2016).
Dia menjelaskan, mayoritas baterai diangkut menggunakan kapal kargo, namun 30% diantaranya dikirim melalui udara. Masalah keamanan, kata dia, meningkat sebab baterai tersebut bisa menyala sendiri sehingga mampu menyulut api penyebab kebakaran.
"Nah masalah keamanan ini meningkat setelah Federasi Penerbangan Amerika (FAA) meneliti adanya gas yang dikeluarkan baterai yang terlalu panas, sehingga bermasalah pada kargo kontainer dan mampu memicu ledakan yang mampu melumpuhkan sistem pengendali kebakaran pesawat," ujar dia.
Kepala Sub Direktorat Standarisasi Kerja sama dan Program Direktorat Keamanan Penerbangan Direktorat Perhubungan Udara Kemenhub, Dwi Arianto mengatakan, Kemenhub telah menerapkan aturan larangan dengan membawa Samsung Galaxy Note 7 atas rekomendasi FAA. Ponsel tersebut, kata dia, memiliki potensi bahaya.
"Kami telah menerapkan larangan tersebut melalui surat edaran menteri. Meski begitu, saat ini, pemerintah tidak bisa melarang seluruh penggunaan baterai lithium karena hampir seluruh barang elektronik menggunakan baterai lithium, termasuk pesawat," ujarnya.
Dwi menjelaskan, selama belum ada referensi dari ICAO maupun FAA, maka pemerintah tidak dapat berbuat banyak. Sejauh ini, dalam surat edaran (SE) No. 16 Tahun 2016, Kemenhub sudah memperingatkan kepada penumpang dan awak pesawat agar tidak melakukan pengisian baterai, mengaktifkan telepon selular dan menyimpan baterai atau power bank di dalam kabin pesawat.
Namun, yang menjadi perhatian, ungkap Dwi, penanganan dangerous goods oleh jasa penitipan barang dan pos kerap kali lolos karena belum diatur secara khusus untuk memiliki personel yang menangani jenis barang ini.
"Akhirnya, banyak kasus barang kiriman yang harus dipulangkan karena di dalamnya terdapat barang berbahaya setelah diperiksa oleh regulated agent atau petugas kargo di bandara. Adanya petugas khusus, kami berharap perusahaan jasa penitipan barang dan pos bisa melakukan penyaringan barang berbahaya sebelum diterbangkan dengan pesawat udara. Kami tidak bisa mengatur karena izin usahanya ada di Kemenkominfo," pungkasnya.
Direktur LPMTL, Salahuddin Rafi mengatakan, kasus terbakarnya baterai jenis ion lithium pada beberapa penerbangan, belum banyak dipahami masyarakat penerbangan di dalam negeri. Menurut dia, penggunaan baterai ion lithium digunakan dalam berbagai perangkat produk seperti ponsel, laptop maupun mobil dengan lithium terbatas.
"Penggunaan ion lithium bahkan digunakan dalam charger mobile seperti power bank. Jadi, IATA melarang penggunaan ion lihtium dalam batas tertentu. Larangan itu bukan menekankan merek handphone atau smartphone, ini yang menjadi salah kaprah selama ini," kata dia dalam lokakarya bertajuk IATA Danggerous Goods Workshop di Jakarta, Senin (14/11/2016).
Dia menjelaskan, mayoritas baterai diangkut menggunakan kapal kargo, namun 30% diantaranya dikirim melalui udara. Masalah keamanan, kata dia, meningkat sebab baterai tersebut bisa menyala sendiri sehingga mampu menyulut api penyebab kebakaran.
"Nah masalah keamanan ini meningkat setelah Federasi Penerbangan Amerika (FAA) meneliti adanya gas yang dikeluarkan baterai yang terlalu panas, sehingga bermasalah pada kargo kontainer dan mampu memicu ledakan yang mampu melumpuhkan sistem pengendali kebakaran pesawat," ujar dia.
Kepala Sub Direktorat Standarisasi Kerja sama dan Program Direktorat Keamanan Penerbangan Direktorat Perhubungan Udara Kemenhub, Dwi Arianto mengatakan, Kemenhub telah menerapkan aturan larangan dengan membawa Samsung Galaxy Note 7 atas rekomendasi FAA. Ponsel tersebut, kata dia, memiliki potensi bahaya.
"Kami telah menerapkan larangan tersebut melalui surat edaran menteri. Meski begitu, saat ini, pemerintah tidak bisa melarang seluruh penggunaan baterai lithium karena hampir seluruh barang elektronik menggunakan baterai lithium, termasuk pesawat," ujarnya.
Dwi menjelaskan, selama belum ada referensi dari ICAO maupun FAA, maka pemerintah tidak dapat berbuat banyak. Sejauh ini, dalam surat edaran (SE) No. 16 Tahun 2016, Kemenhub sudah memperingatkan kepada penumpang dan awak pesawat agar tidak melakukan pengisian baterai, mengaktifkan telepon selular dan menyimpan baterai atau power bank di dalam kabin pesawat.
Namun, yang menjadi perhatian, ungkap Dwi, penanganan dangerous goods oleh jasa penitipan barang dan pos kerap kali lolos karena belum diatur secara khusus untuk memiliki personel yang menangani jenis barang ini.
"Akhirnya, banyak kasus barang kiriman yang harus dipulangkan karena di dalamnya terdapat barang berbahaya setelah diperiksa oleh regulated agent atau petugas kargo di bandara. Adanya petugas khusus, kami berharap perusahaan jasa penitipan barang dan pos bisa melakukan penyaringan barang berbahaya sebelum diterbangkan dengan pesawat udara. Kami tidak bisa mengatur karena izin usahanya ada di Kemenkominfo," pungkasnya.
(ven)