Pemerintah dan YLKI Soroti Ponsel BM yang Masih Banyak Dijual Online
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan blokir ponsel Black Market (BM) lewat IMEI (International Mobile Equipment Identity) sudah diberlakukan sejak 18 April 2020. Kendati demikian, diduga masih ada penjualan dan peredaran ponsel Black Market secara online.
Menyikapi hal tersebut, Ojak Manurung, Direktur Pengawasan Barang dan Jasa Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan dua peraturan menteri. (Baca: Maskapai Dapat Lampu Hijau Naikan Harga Tiket Pesawat)
Pertama, peraturan menteri nomor 78 tahun 2019 tentang petunjuk penggunaan layanan jaminan purna jual untuk produk elektronika dan telematika. Peraturan ini terkait dengan pasalnya yang menjamin bahwa produk yang diperdagangkan itu sudah tervalidasi atau teregistrasi.
"Kemudian yang kedua adalah Permendag No. 79 Tahun 2019 terkait dengan kewajiban pencatatan label berbahasa Indonesia pada barang,” kata Ojak dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Menurut Ojak bagi pelaku usaha, bagi produsen importir wajib mencantumkan IMEI pada kemasan. Terkait dengan peraturan ini tentunya akan ada sanksinya. (Baca juga: Pasar Automotif Baru Pulih Tahun Depan )
Misalnya, jika tidak memberikan jaminan tertentu, maka ada konsekuensi pernyataan jaminan sehingga pelaku usaha harus memberikan jaminan apabila nanti produknya tidak tervalidasi.
Di samping itu juga nanti produk tersebut harus ditarik dari peredaran. Kemudian sanksi yang lainnya apabila tidak diindahkan itu nanti ada pencabutan perizinan, tentu melalui peringatan satu dan dua.
"Mengapa kita wajibkan label di PP 79 itu di kemasan, karena untuk mempermudah Konsumen mengecek apakah IMEI sudah terdaftar. Juga mempermudah petugas pengecek memeriksa tanpa membuka kemasan,” jelas Ojak.
Jika mengacu pada UU perlindungan konsumen pasal 8 huruf i, terkait pelanggaran label ini bisa mengacu ke pidana. Terkait label ini harus jelas juga seperti ada mereknya, frekuensinya, ada ketentuan di peraturannya.
“Peraturan yang sama juga berlaku bagi masyarakat yang membeli ponsel secara daring atau online melalui market place. Para market place ini juga harus turut bertanggung jawab terhadap ponsel atau produk HKT (Handphone atau telepon seluler, Komputer Genggam, dan Tablet) yang diperjualbelikan oleh merchant-nya,” ujar Ojak.
Itu sebabnya menurut Ojak para market place harus meminta surat pernyataan dari para merchant bahwa tidak akan menjual produk HKT yang illegal.
Sementara itu Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan bahwa masalah kebijakan validasi IMEI ini harus memprioritaskan aspek perlindungan pada konsumen.
Bukan semata masalah kerugian negara akibat telepon seluler ilegal tersebut. Sebab menurut Tulus aspek perlindungan konsumen pengguna telepon seluler jauh lebih penting daripada kerugian negara.
Untuk itu, Tulus menghimbau kepada konsumen saat membeli ponsel baru, pastikan bahwa ponsel tersebut adalah legal.
Ciri utama ponsel legal atau bukan BM, adalah pada aspek jaminan yang diberikan. Jika jaminan yang diberikan hanya jaminan toko, maka bisa dipastikan bahwa ponsel tersebut adalah ponsel ilegal/BM.
Sebab secara regulasi (Permendag) jaminan harus dari produsen secara langsung, bukan hanya jaminan toko saja.
Ia mengusulkan agar para pihak terkait selama masa transisi validasi IMEI agar tetap memonitoring atau melakukan sweeping peredaran dan penjualan ponsel BM secara online.
Apalagi, saat ini sedang marak beredar informasi tentang ponsel BM iPhone SE 2 2020.
"Jika sudah didata, tinggal ditegur saja e-cormmerce-nya. Ini salah satu cara membangun komitmen bersama agar peredaran ponsel BM berhenti sembari menunggu software pengendali IMEI berjalan secara optimal,” pungkasnya Tulus.
Menyikapi hal tersebut, Ojak Manurung, Direktur Pengawasan Barang dan Jasa Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan dua peraturan menteri. (Baca: Maskapai Dapat Lampu Hijau Naikan Harga Tiket Pesawat)
Pertama, peraturan menteri nomor 78 tahun 2019 tentang petunjuk penggunaan layanan jaminan purna jual untuk produk elektronika dan telematika. Peraturan ini terkait dengan pasalnya yang menjamin bahwa produk yang diperdagangkan itu sudah tervalidasi atau teregistrasi.
"Kemudian yang kedua adalah Permendag No. 79 Tahun 2019 terkait dengan kewajiban pencatatan label berbahasa Indonesia pada barang,” kata Ojak dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Menurut Ojak bagi pelaku usaha, bagi produsen importir wajib mencantumkan IMEI pada kemasan. Terkait dengan peraturan ini tentunya akan ada sanksinya. (Baca juga: Pasar Automotif Baru Pulih Tahun Depan )
Misalnya, jika tidak memberikan jaminan tertentu, maka ada konsekuensi pernyataan jaminan sehingga pelaku usaha harus memberikan jaminan apabila nanti produknya tidak tervalidasi.
Di samping itu juga nanti produk tersebut harus ditarik dari peredaran. Kemudian sanksi yang lainnya apabila tidak diindahkan itu nanti ada pencabutan perizinan, tentu melalui peringatan satu dan dua.
"Mengapa kita wajibkan label di PP 79 itu di kemasan, karena untuk mempermudah Konsumen mengecek apakah IMEI sudah terdaftar. Juga mempermudah petugas pengecek memeriksa tanpa membuka kemasan,” jelas Ojak.
Jika mengacu pada UU perlindungan konsumen pasal 8 huruf i, terkait pelanggaran label ini bisa mengacu ke pidana. Terkait label ini harus jelas juga seperti ada mereknya, frekuensinya, ada ketentuan di peraturannya.
“Peraturan yang sama juga berlaku bagi masyarakat yang membeli ponsel secara daring atau online melalui market place. Para market place ini juga harus turut bertanggung jawab terhadap ponsel atau produk HKT (Handphone atau telepon seluler, Komputer Genggam, dan Tablet) yang diperjualbelikan oleh merchant-nya,” ujar Ojak.
Itu sebabnya menurut Ojak para market place harus meminta surat pernyataan dari para merchant bahwa tidak akan menjual produk HKT yang illegal.
Sementara itu Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan bahwa masalah kebijakan validasi IMEI ini harus memprioritaskan aspek perlindungan pada konsumen.
Bukan semata masalah kerugian negara akibat telepon seluler ilegal tersebut. Sebab menurut Tulus aspek perlindungan konsumen pengguna telepon seluler jauh lebih penting daripada kerugian negara.
Untuk itu, Tulus menghimbau kepada konsumen saat membeli ponsel baru, pastikan bahwa ponsel tersebut adalah legal.
Ciri utama ponsel legal atau bukan BM, adalah pada aspek jaminan yang diberikan. Jika jaminan yang diberikan hanya jaminan toko, maka bisa dipastikan bahwa ponsel tersebut adalah ponsel ilegal/BM.
Sebab secara regulasi (Permendag) jaminan harus dari produsen secara langsung, bukan hanya jaminan toko saja.
Ia mengusulkan agar para pihak terkait selama masa transisi validasi IMEI agar tetap memonitoring atau melakukan sweeping peredaran dan penjualan ponsel BM secara online.
Apalagi, saat ini sedang marak beredar informasi tentang ponsel BM iPhone SE 2 2020.
"Jika sudah didata, tinggal ditegur saja e-cormmerce-nya. Ini salah satu cara membangun komitmen bersama agar peredaran ponsel BM berhenti sembari menunggu software pengendali IMEI berjalan secara optimal,” pungkasnya Tulus.
(wbs)