Mahasiswa Mulai Berani Mengelabui Akademisi dengan Aplikasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Antony Aumann, professor filosofi dari Northern Michigan University Cuma bisa geleng-geleng kepala ketika menerima beberapa esai yang diserahkan oleh para mahasiswanya . Beberapa esai yang dibuat ternyata menggunakan aplikasi kecerdasan buatan yang saat ini tengah dibicarakan yakni ChatGPT.
Dia tidak menyangka ternyata beberapa mahasiswanya mulai nekat menggunakan aplikasi dalam menyelesaikan tugas akademik. Padahal tugas-tugas tersebut diberikan untuk meningkatkan kemampuan nalar para mahasiswa.
Diketahui ChatGPT merupakan semacam robot percakapan (chatbot) yang dapat mensimulasikan percakapan layaknya berbincang dengan manusia asli.
Dari percakapan itu ChatGPT bisa mengeksekusi berbagai permintaan pengguna. Misalnya membuat sebuah narasi, menuliskan puisi, hingga menciptakan syair lagu. Tidak heran jika banyak pengguna penasaran mencoba kecerdasan yang dimiliki ChatGPT.
Dia bisa mendeteksi kepalsuan esai itu melalui cara yang sangat sederhana yakni memahami personalitas dari para mahasiswanya. Menurut dia laporan yang dibuat menggunakan aplikasi kecerdasan buatan cenderung tidak memiliki rasa. Berbeda jika mahasiswanya menulis sendiri yang tanpa disadari memberikan gaya tersendiri.
“Hanya saja ke depannya kami kebingungan dalam mengantisipasi kecurangan-kecurangan menggunakan aplikasi kecerdasan buatan ini,” ujar Antony Aumann.
Aplikasi kecerdasan buatan ChatGPT memang sangat powerful. Mereka bisa melakukan apa saja yang diinginkan oleh penggunanya. Aktor Ryan Renolds bahkan menggunakan aplikasi ChatGPT untuk membuat naskah iklan buat perusahaan teknologi miliknya, Mint Mobile.
“Cara penggunaannya justru sangat efisien dan bisa memangkas biaya riset,” ujar pemeran film Deadpool itu.
Sayangnya kemampuan luar biasa kecerdasan buatan itu justru disalahgunakan oleh beberapa orang. Kebanyakan adalah mereka yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah. Aplikasi-aplikasi itu digunakan justru untuk mengelabui para akademisi. Berbagai tugas yang harusnya dikerjakan sendiri justru diserahkan pada aplikasi.
Sebenarnya cara-cara curang ini sebenarnya sudah dilakukan dengan cara sederhana dengan memanfaatkan internet. Banyak orang berupaya mencari jawaban di setiap ujian mata pelajaran sekolah dengan menggunakan internet.
Hanya saja aplikasi kecerdasan buatan seperti ChatGPT bisa lebih besar lagi kemampuannya. Pengguna tinggal menyerahkan seluruh ujian yang mereka jalani kepada aplikasi. Mereka tinggal menyerahkan kepada aplikasi buat dieksekusi.
Celah-celah inilah yang coba diatasi oleh para akademisi. Mereka mencoba melakukan beberapa upaya agar tidak bisa dikelabui. Antony Aumann misalnya ingin ada perusahaan teknologi bisa membuat aplikasi yang bisa bekerja sebagai obat penawar dari ChatGPT dan aplikasi lain yang sejenis.
Aplikasi itu harusnya menurut dia bisa menghambat akses ke aplikasi kecerdasan buatan. Jadinya para pelajar yang berusaha mengakses aplikasi itu sama sekali tidak bisa masuk.
Akademisi lainnya justru memikirkan langkah yang sangat drastic dan berlawanan dengan tren yang ada. Christopher Bartel, dosen filosofi dari Apphalacian State University justru ingin mencoba cara kuno yakni ujian lisan.
Jadi dia sama sekali tidak percaya lagi dengan ujian tertulis yang memang bisa diakali melalui aplikasi kecerdasan buatan.”Mereka bisa sesuka hati membuat laporan dengan mengandalkan aplikasi kecerdasan buatan, tapi jika mereka tidak bisa membicarakannya secara langsung, maka itu jadi lain soal,” tegas Christophel Bartel.
Dia mengatakan kemampuan oral itu justru akan sangat membantu para siswa atau mahasiswa di masa depan. Mereka akan jadi lebih mampu berbicara mengutarakan ide-ide mereka secara lugas dan terstruktur. Hal itu menurutnya akan sangat dibutuhkan ketika mereka mencari kerja dan sudah bekerja.
Sementara pembuat ChatGPT, OpenAI mengatakan mereka tidak ingin ChatGPT digunakan untuk tujuan yang menyesatkan.Mereka berupaya agar hal tersebut bisa dicegah dengan keterbukaan yang harus diberikan kepada pengguna saat menggunakan aplikasi mereka.
Mereka bahkan mengaku siap untuk menganalisa atau mereview sebuah tulisan yang memang dibuat dengan cara menggunakan aplikasi kecerdasan buatan. "Kami sudah mengembangkan mitigasi untuk membantu siapa pun mengidentifikasi teks yang dihasilkan oleh sistem itu," tegas mereka dikutip Insider.
Jadi saat ini keberadaan aplikasi kecerdasan buatan itu memang tidak akan bisa dicegah cara penggunaannya. Keberadaan aplikasi itu seperti pedang bermata dua. Menguntungkan bagi yang memanfaatkannya dengan benar dan berbahaya jika hanya digunakan untuk kepentingan sesaat semata.
Dia tidak menyangka ternyata beberapa mahasiswanya mulai nekat menggunakan aplikasi dalam menyelesaikan tugas akademik. Padahal tugas-tugas tersebut diberikan untuk meningkatkan kemampuan nalar para mahasiswa.
Diketahui ChatGPT merupakan semacam robot percakapan (chatbot) yang dapat mensimulasikan percakapan layaknya berbincang dengan manusia asli.
Dari percakapan itu ChatGPT bisa mengeksekusi berbagai permintaan pengguna. Misalnya membuat sebuah narasi, menuliskan puisi, hingga menciptakan syair lagu. Tidak heran jika banyak pengguna penasaran mencoba kecerdasan yang dimiliki ChatGPT.
Dia bisa mendeteksi kepalsuan esai itu melalui cara yang sangat sederhana yakni memahami personalitas dari para mahasiswanya. Menurut dia laporan yang dibuat menggunakan aplikasi kecerdasan buatan cenderung tidak memiliki rasa. Berbeda jika mahasiswanya menulis sendiri yang tanpa disadari memberikan gaya tersendiri.
“Hanya saja ke depannya kami kebingungan dalam mengantisipasi kecurangan-kecurangan menggunakan aplikasi kecerdasan buatan ini,” ujar Antony Aumann.
Aplikasi kecerdasan buatan ChatGPT memang sangat powerful. Mereka bisa melakukan apa saja yang diinginkan oleh penggunanya. Aktor Ryan Renolds bahkan menggunakan aplikasi ChatGPT untuk membuat naskah iklan buat perusahaan teknologi miliknya, Mint Mobile.
“Cara penggunaannya justru sangat efisien dan bisa memangkas biaya riset,” ujar pemeran film Deadpool itu.
Sayangnya kemampuan luar biasa kecerdasan buatan itu justru disalahgunakan oleh beberapa orang. Kebanyakan adalah mereka yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah. Aplikasi-aplikasi itu digunakan justru untuk mengelabui para akademisi. Berbagai tugas yang harusnya dikerjakan sendiri justru diserahkan pada aplikasi.
Sebenarnya cara-cara curang ini sebenarnya sudah dilakukan dengan cara sederhana dengan memanfaatkan internet. Banyak orang berupaya mencari jawaban di setiap ujian mata pelajaran sekolah dengan menggunakan internet.
Hanya saja aplikasi kecerdasan buatan seperti ChatGPT bisa lebih besar lagi kemampuannya. Pengguna tinggal menyerahkan seluruh ujian yang mereka jalani kepada aplikasi. Mereka tinggal menyerahkan kepada aplikasi buat dieksekusi.
Celah-celah inilah yang coba diatasi oleh para akademisi. Mereka mencoba melakukan beberapa upaya agar tidak bisa dikelabui. Antony Aumann misalnya ingin ada perusahaan teknologi bisa membuat aplikasi yang bisa bekerja sebagai obat penawar dari ChatGPT dan aplikasi lain yang sejenis.
Aplikasi itu harusnya menurut dia bisa menghambat akses ke aplikasi kecerdasan buatan. Jadinya para pelajar yang berusaha mengakses aplikasi itu sama sekali tidak bisa masuk.
Akademisi lainnya justru memikirkan langkah yang sangat drastic dan berlawanan dengan tren yang ada. Christopher Bartel, dosen filosofi dari Apphalacian State University justru ingin mencoba cara kuno yakni ujian lisan.
Jadi dia sama sekali tidak percaya lagi dengan ujian tertulis yang memang bisa diakali melalui aplikasi kecerdasan buatan.”Mereka bisa sesuka hati membuat laporan dengan mengandalkan aplikasi kecerdasan buatan, tapi jika mereka tidak bisa membicarakannya secara langsung, maka itu jadi lain soal,” tegas Christophel Bartel.
Dia mengatakan kemampuan oral itu justru akan sangat membantu para siswa atau mahasiswa di masa depan. Mereka akan jadi lebih mampu berbicara mengutarakan ide-ide mereka secara lugas dan terstruktur. Hal itu menurutnya akan sangat dibutuhkan ketika mereka mencari kerja dan sudah bekerja.
Sementara pembuat ChatGPT, OpenAI mengatakan mereka tidak ingin ChatGPT digunakan untuk tujuan yang menyesatkan.Mereka berupaya agar hal tersebut bisa dicegah dengan keterbukaan yang harus diberikan kepada pengguna saat menggunakan aplikasi mereka.
Mereka bahkan mengaku siap untuk menganalisa atau mereview sebuah tulisan yang memang dibuat dengan cara menggunakan aplikasi kecerdasan buatan. "Kami sudah mengembangkan mitigasi untuk membantu siapa pun mengidentifikasi teks yang dihasilkan oleh sistem itu," tegas mereka dikutip Insider.
Jadi saat ini keberadaan aplikasi kecerdasan buatan itu memang tidak akan bisa dicegah cara penggunaannya. Keberadaan aplikasi itu seperti pedang bermata dua. Menguntungkan bagi yang memanfaatkannya dengan benar dan berbahaya jika hanya digunakan untuk kepentingan sesaat semata.
(wsb)