Kerugian Pelanggaran Data Diklaim Capai Rekor Tertinggi selama Pandemi Covid-19
Jum'at, 06 Agustus 2021 - 09:01 WIB
JAKARTA - Hasil studi global IBM Security menemukan bahwa kerugian akibat pelanggaran data mencapai rekor tertinggi selama pandemi Covid-19. Berdasarkan survei, rata-rata kerugian perusahaan mencapai USD4,24 juta atau sekitar Rp60,6 miliar per insiden.
Berdasarkan analisis mendalam tentang pelanggaran data dunia nyata yang dialami oleh lebih dari 500 organisasi, penelitian ini menunjukkan bahwa insiden keamanan menjadi lebih mahal dan sulit dikendalikan karena peralihan operasional yang drastis selama pandemi, dengan biaya yang meningkat 10% dibandingkan tahun sebelumnya.
"Bisnis dipaksa untuk menyesuaikan pendekatan teknologi mereka secara cepat di tahun lalu, dengan begitu banyak perusahaan yang mendorong atau mengharuskan karyawan untuk bekerja dari rumah, dan 60% organisasi bergerak lebih jauh ke aktivitas berbasis cloud selama pandemi," jelas Chris McCurdy, Wakil Presiden dan Manajer Umum IBM Security, dalam keterangan resminya, Kamis (5/8/2021).
Temuan baru yang dirilis ini menunjukkan bahwa keamanan mungkin kurang begitu cepat mengejar perubahan TI yang pesat ini, sehingga menghambat kemampuan organisasi untuk merespons pelanggaran data.
Laporan tersebut juga menunjukkan tanda-tanda positif tentang dampak taktik keamanan modern, seperti AI, otomatisasi, dan adopsi pendekatan nol kepercayaan (zero trust) yang dapat membantu mengurangi biaya dari insiden ini lebih jauh.
Dengan masyarakat yang lebih mengandalkan interaksi digital selama pandemi, IBM Security melihat perusahaan merangkul model bekerja jarak jauh dan cloud saat mereka beralih untuk mengakomodasi dunia yang semakin digital saat ini.
Laporan tersebut menemukan bahwa faktor-faktor ini memiliki dampak signifikan pada respons pelanggaran data. Hampir 20% organisasi yang diteliti melaporkan bahwa bekerja jarak jauh merupakan faktor dalam pelanggaran data, dan pelanggaran ini pada akhirnya merugikan perusahaan sebesar USD4,96 juta atau hampir 15% lebih tinggi dari rata-rata pelanggaran.
Perusahaan dalam penelitian yang mengalami pelanggaran selama proyek migrasi cloud telah menelan biaya 18,8% lebih tinggi dari rata-rata. Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa mereka yang lebih maju dalam strategi modernisasi cloud mereka secara keseluruhan mampu mendeteksi dan merespons insiden dengan lebih efektif, dengan rata-rata 77 hari lebih cepat daripada mereka yang berada dalam adopsi tahap awal.
Selain itu, untuk pelanggaran data berbasis cloud yang diteliti, perusahaan yang telah mengimplementasikan pendekatan hybrid cloud menelan biaya pelanggaran data yang lebih rendah, yakni USD3,61 juta, daripada mereka yang memiliki pendekatan public cloud, yakni USD4,80 juta atau private cloud sebesar USD4,55 juta.
Berdasarkan analisis mendalam tentang pelanggaran data dunia nyata yang dialami oleh lebih dari 500 organisasi, penelitian ini menunjukkan bahwa insiden keamanan menjadi lebih mahal dan sulit dikendalikan karena peralihan operasional yang drastis selama pandemi, dengan biaya yang meningkat 10% dibandingkan tahun sebelumnya.
"Bisnis dipaksa untuk menyesuaikan pendekatan teknologi mereka secara cepat di tahun lalu, dengan begitu banyak perusahaan yang mendorong atau mengharuskan karyawan untuk bekerja dari rumah, dan 60% organisasi bergerak lebih jauh ke aktivitas berbasis cloud selama pandemi," jelas Chris McCurdy, Wakil Presiden dan Manajer Umum IBM Security, dalam keterangan resminya, Kamis (5/8/2021).
Temuan baru yang dirilis ini menunjukkan bahwa keamanan mungkin kurang begitu cepat mengejar perubahan TI yang pesat ini, sehingga menghambat kemampuan organisasi untuk merespons pelanggaran data.
Laporan tersebut juga menunjukkan tanda-tanda positif tentang dampak taktik keamanan modern, seperti AI, otomatisasi, dan adopsi pendekatan nol kepercayaan (zero trust) yang dapat membantu mengurangi biaya dari insiden ini lebih jauh.
Dengan masyarakat yang lebih mengandalkan interaksi digital selama pandemi, IBM Security melihat perusahaan merangkul model bekerja jarak jauh dan cloud saat mereka beralih untuk mengakomodasi dunia yang semakin digital saat ini.
Laporan tersebut menemukan bahwa faktor-faktor ini memiliki dampak signifikan pada respons pelanggaran data. Hampir 20% organisasi yang diteliti melaporkan bahwa bekerja jarak jauh merupakan faktor dalam pelanggaran data, dan pelanggaran ini pada akhirnya merugikan perusahaan sebesar USD4,96 juta atau hampir 15% lebih tinggi dari rata-rata pelanggaran.
Perusahaan dalam penelitian yang mengalami pelanggaran selama proyek migrasi cloud telah menelan biaya 18,8% lebih tinggi dari rata-rata. Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa mereka yang lebih maju dalam strategi modernisasi cloud mereka secara keseluruhan mampu mendeteksi dan merespons insiden dengan lebih efektif, dengan rata-rata 77 hari lebih cepat daripada mereka yang berada dalam adopsi tahap awal.
Selain itu, untuk pelanggaran data berbasis cloud yang diteliti, perusahaan yang telah mengimplementasikan pendekatan hybrid cloud menelan biaya pelanggaran data yang lebih rendah, yakni USD3,61 juta, daripada mereka yang memiliki pendekatan public cloud, yakni USD4,80 juta atau private cloud sebesar USD4,55 juta.
tulis komentar anda