AS Kritisi Aturan Smartphone 'Made in Indonesia'
A
A
A
CALIFORNIA - Pemerintah Indonesia tengah menyelesaikan undang-undang smartphone 'Made in Indonesia' dengan meminta semua smartphone dan tablet yang dijual di Indonesia, setidaknya 40% bagiannya terbuat dari Indonesia, bulan depan. Sontak saja aturan ini menimbulkan respon bagi para produsen smartphone besar seperti Apple dan HTC.
Dilansir dari Digitaltrends, Rabu (25/2/2015), melalui kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), pihak AS tengah melakukan pembicaraan dengan pihak berwenang di Indonesia serta forum multinasional. Lembaga itu percaya, aturan yang kabarnya akan diberlakukan mulai 1 Januari 2017, dapat menghambat upaya para produsen besar untuk memperluas pasarnya ke Indonesia, seperti yang dilaporka oleh Reuters.
"Amerika Serikat merasa prihatin terhadap hal ini, dan mendukung penuh agar teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia untuk lebih terbuka," ucap juru bicara USTR.
The American Chamber of Commerce (AmCham) juga mengangkat beberapa kekhawatiran dalam surat yang dikirim ke Menteri Komunikasi Indonesia Rudiantara. Mereka beranggapan peraturan baru dapat menyebabkan masalah serius bagi Indonesia nantinya.
"Kami khawatir bahwa pendekatan yang diambil dalam rancangan peraturan ini, secara tidak sengaja bisa membatasi akses ke teknologi baru, meningkatkan biaya ICT bagi perusahaan Indonesia, merangsang pasar abu-abu dan hitam untuk ponsel, dan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan lainnya," ujar AmCham.
Dalam surat yang sama, AmCham juga menitik beratkan bahwa kemungkinan peraturan akan melanggar hukum perdagangan internasional, yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia.
Meski begitu, Rudiantara yakin peraturan tersebut akan membantu Indonesia mendapatkan bagian USD4 miliar atau sekitar Rp51,58 triliun dari penjualan smartphone domestik tahunan. Selain itu, peraturan tersebut sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo, mengubah Indonesia dari konsumen ke produser.
Hal ini tampaknya akan menjadi menimbulkan polemik dari berbagai pihak. Kekhawatiran yang berkembang, lebih disebabkan karena Indonesia tidak memilikirantai pasokan yang cukup kuat untuk produksi smartphone.
Dilansir dari Digitaltrends, Rabu (25/2/2015), melalui kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), pihak AS tengah melakukan pembicaraan dengan pihak berwenang di Indonesia serta forum multinasional. Lembaga itu percaya, aturan yang kabarnya akan diberlakukan mulai 1 Januari 2017, dapat menghambat upaya para produsen besar untuk memperluas pasarnya ke Indonesia, seperti yang dilaporka oleh Reuters.
"Amerika Serikat merasa prihatin terhadap hal ini, dan mendukung penuh agar teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia untuk lebih terbuka," ucap juru bicara USTR.
The American Chamber of Commerce (AmCham) juga mengangkat beberapa kekhawatiran dalam surat yang dikirim ke Menteri Komunikasi Indonesia Rudiantara. Mereka beranggapan peraturan baru dapat menyebabkan masalah serius bagi Indonesia nantinya.
"Kami khawatir bahwa pendekatan yang diambil dalam rancangan peraturan ini, secara tidak sengaja bisa membatasi akses ke teknologi baru, meningkatkan biaya ICT bagi perusahaan Indonesia, merangsang pasar abu-abu dan hitam untuk ponsel, dan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan lainnya," ujar AmCham.
Dalam surat yang sama, AmCham juga menitik beratkan bahwa kemungkinan peraturan akan melanggar hukum perdagangan internasional, yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia.
Meski begitu, Rudiantara yakin peraturan tersebut akan membantu Indonesia mendapatkan bagian USD4 miliar atau sekitar Rp51,58 triliun dari penjualan smartphone domestik tahunan. Selain itu, peraturan tersebut sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo, mengubah Indonesia dari konsumen ke produser.
Hal ini tampaknya akan menjadi menimbulkan polemik dari berbagai pihak. Kekhawatiran yang berkembang, lebih disebabkan karena Indonesia tidak memilikirantai pasokan yang cukup kuat untuk produksi smartphone.
(dyt)