Sistem Informasi di Indonesia Tidak Aman
A
A
A
JAKARTA - Indonesia saat ini tengah gencar mengembangkan sistem informasi teknologi (IT) untuk menunjang aktivitas serta keperluan pemerintah, swasta dan masyarakat. Semua akan dibuat serba online dan digital. Namun, mereka lupa bahwa teknologi digital membawa konsekuensi besar atas terbukanya sistem informasi data.
Chairman & Founder CISSReC, Pratama D Persadha memandang sistem informasi dan komunikasi di Indonesia tidak dibarengi upaya pencegahan dan keamanan rahasia data. Ini sangat berbahaya. "Yang bikin kita prihatin adalah pengamanan informasi, ketahanan informasi, itu tidak menjadi prioritas pemerintah Indonesia. Jadi itu yang ingin kita tekankan," ujar Pratama saat berkunjung ke Sindonews di Gedung Sindo, Jakarta, Rabu (18/2/2015).
Dia memaparkan, sebagai langkah awal masyarakat harus aware (sadar) terhadap privasi. Perusahaan yang telah memiliki sertifikat pun masih bisa disadap dan diambil datanya. Apalagi handphone.
"Masyarakat yang melakukan komunikasi di handphone bisa disadap. Per hari itu puluhan juta data orang yang berkomunikasi melalui perangkat pintar datanya diambil. Karena, mereka (hacker) mempunyai sistem melalui monitor. Data komunikasi kita dapat diambil semua," ungkap mantan ketua Tim LemSaNeg Pengamanan IT Presiden ini.
Pratama menyatakan, private informasi harus diutamakan pemerintah. Di Indonesia belum ada lembaga-lembaga yang aman dari intercept atau penyadapan. Hanya Lembaga Sandi Negara yang aman. Lainnya rentan, termasuk BIN dan lembaga kepresidenan. Ini karena alat komunikasi yang digunakan dibeli dari negara lain.
"Pemerintah lebih suka yang instan dan gratis. Terlebih dengan iming-iming, ini teknologi tercanggih, terbaru dan lebih cepat, semua fasilitas free. Namun, mereka tidak sadar data yang mereka kirim melalui teknologi email, sms atau telepon telah di-intercept. Entah itu untuk kepentingan bisnis atau kepentingan suatu negara terhadap mitra dan musuhnya," beber Pratama.
Dia melanjutkan, pemerintah boleh saja berdalih semua aman karena negara tidak memiliki musuh. Namun, namanya sistem informasi terkait dengan kepentingan pemerintah. Setiap negara maju melakukannya (penyadapan). Salah satunya Amerika Serikat (AS). Mereka terus memantau pergerakan negara lain. Jika terjadi perang, mereka tinggal tekan enter, semua data rahasia dan keamanan negara lawan terbuka.
"Dalam meng-intercept, seorang penyadap yang cerdas adalah tidak akan mengganggu sistem komunikasi sasarannya. Mereka membuat normal. Padahal, dalam beberapa tahun data diambil semua, dan penggunanya tidak sadar," tutur Pratama.
Berita terbaru yang dilansir Sindonews, sebuah dokumen rahasia menyebutkan bahwa Badan Keamanan Nasional AS (National Security Agency/NSA) dan Badan Intelijen Inggris (Government Communications Headquarters/GCHQ) pernah mencuri kunci enkripsi Subscriber Identity Module (SIM) yang membuat para pengguna ponsel di seluruh dunia bisa disadap.
Dokumen rahasia itu dibocorkan Edward Joseph Snowden, mantan kontraktor NSA. Snowden yang bersembunyi di Rusia dan menjadi buron intelijen AS karena membocorkan penyadapan global NSA membeberkan semua.
Menurut dokumen rahasia dari Snowden, mata-mata AS dan Inggris telah menyusup ke jaringan perusahaan keamanan digital Gemalto untuk mencuri kunci enkripsi SIM yang berfungsi melindungi privasi komunikasi ponsel di seluruh dunia.
Dokumen Snowden itu pertama kali dirilis Intercept, Kamis (19/2/2015). Ulah NSA dan GCHQ, menurut Snowden terjadi pada 2010. Pelanggaran itu dilakukan NSA dan GCHQ secara diam-diam dengan memantau komunikasi ponsel, termasuk panggilan telepon, SMS dan e-mail.
Perusahaan Gemalto yang membuat SIM ponsel berbasis di Amsterdam, Belanda, mengakui pernah jadi target serangan cyber. Bahayanya, beberapa anak perusahaan Gemalto tersebar di seluruh dunia. Klien Gemalto, antara lain AT & T, T-Mobile, Verizon, Sprint, dan sekitar 450 penyedia jaringan nirkabel di seluruh dunia.
Sebab itu, Pratama menegaskan, sistem informasi secanggih apapun tidak aman dari penyadapan. Ini terkait kepentingan. Pertanyaannya, apakah pemerintah kita sadar dan peduli atas masalah ini?
"Ini yang perlu kita tekankan. Saat kita membeli sistem informasi atau alat terkadang bangga ini buatan Amerika atau China yang tidak bisa disadap. Ingat! Semua alat di AS boleh dikomersilkan jika sistem teknologi bisa diakses oleh NSA. Mereka tidak bodoh mengeluarkan alat sistem keamanan ke negara lain," ujarnya.
Pratama mengatakan semua data negara, perusahaan dan masyarakat harus dilindungi pemerintah dengan dibuat peraturan yang mewajibkan masyarakat menyimpan data-data mereka di-cloud, dropbox dan lainnya, dengan sistem privasi. Buat kata sandi atau sistem keamanan. "Melalui langkah ini walau data kita dapat diakses oleh para penyadap, namun mereka tidak bisa membaca isi data kita," tandasnya.
Chairman & Founder CISSReC, Pratama D Persadha memandang sistem informasi dan komunikasi di Indonesia tidak dibarengi upaya pencegahan dan keamanan rahasia data. Ini sangat berbahaya. "Yang bikin kita prihatin adalah pengamanan informasi, ketahanan informasi, itu tidak menjadi prioritas pemerintah Indonesia. Jadi itu yang ingin kita tekankan," ujar Pratama saat berkunjung ke Sindonews di Gedung Sindo, Jakarta, Rabu (18/2/2015).
Dia memaparkan, sebagai langkah awal masyarakat harus aware (sadar) terhadap privasi. Perusahaan yang telah memiliki sertifikat pun masih bisa disadap dan diambil datanya. Apalagi handphone.
"Masyarakat yang melakukan komunikasi di handphone bisa disadap. Per hari itu puluhan juta data orang yang berkomunikasi melalui perangkat pintar datanya diambil. Karena, mereka (hacker) mempunyai sistem melalui monitor. Data komunikasi kita dapat diambil semua," ungkap mantan ketua Tim LemSaNeg Pengamanan IT Presiden ini.
Pratama menyatakan, private informasi harus diutamakan pemerintah. Di Indonesia belum ada lembaga-lembaga yang aman dari intercept atau penyadapan. Hanya Lembaga Sandi Negara yang aman. Lainnya rentan, termasuk BIN dan lembaga kepresidenan. Ini karena alat komunikasi yang digunakan dibeli dari negara lain.
"Pemerintah lebih suka yang instan dan gratis. Terlebih dengan iming-iming, ini teknologi tercanggih, terbaru dan lebih cepat, semua fasilitas free. Namun, mereka tidak sadar data yang mereka kirim melalui teknologi email, sms atau telepon telah di-intercept. Entah itu untuk kepentingan bisnis atau kepentingan suatu negara terhadap mitra dan musuhnya," beber Pratama.
Dia melanjutkan, pemerintah boleh saja berdalih semua aman karena negara tidak memiliki musuh. Namun, namanya sistem informasi terkait dengan kepentingan pemerintah. Setiap negara maju melakukannya (penyadapan). Salah satunya Amerika Serikat (AS). Mereka terus memantau pergerakan negara lain. Jika terjadi perang, mereka tinggal tekan enter, semua data rahasia dan keamanan negara lawan terbuka.
"Dalam meng-intercept, seorang penyadap yang cerdas adalah tidak akan mengganggu sistem komunikasi sasarannya. Mereka membuat normal. Padahal, dalam beberapa tahun data diambil semua, dan penggunanya tidak sadar," tutur Pratama.
Berita terbaru yang dilansir Sindonews, sebuah dokumen rahasia menyebutkan bahwa Badan Keamanan Nasional AS (National Security Agency/NSA) dan Badan Intelijen Inggris (Government Communications Headquarters/GCHQ) pernah mencuri kunci enkripsi Subscriber Identity Module (SIM) yang membuat para pengguna ponsel di seluruh dunia bisa disadap.
Dokumen rahasia itu dibocorkan Edward Joseph Snowden, mantan kontraktor NSA. Snowden yang bersembunyi di Rusia dan menjadi buron intelijen AS karena membocorkan penyadapan global NSA membeberkan semua.
Menurut dokumen rahasia dari Snowden, mata-mata AS dan Inggris telah menyusup ke jaringan perusahaan keamanan digital Gemalto untuk mencuri kunci enkripsi SIM yang berfungsi melindungi privasi komunikasi ponsel di seluruh dunia.
Dokumen Snowden itu pertama kali dirilis Intercept, Kamis (19/2/2015). Ulah NSA dan GCHQ, menurut Snowden terjadi pada 2010. Pelanggaran itu dilakukan NSA dan GCHQ secara diam-diam dengan memantau komunikasi ponsel, termasuk panggilan telepon, SMS dan e-mail.
Perusahaan Gemalto yang membuat SIM ponsel berbasis di Amsterdam, Belanda, mengakui pernah jadi target serangan cyber. Bahayanya, beberapa anak perusahaan Gemalto tersebar di seluruh dunia. Klien Gemalto, antara lain AT & T, T-Mobile, Verizon, Sprint, dan sekitar 450 penyedia jaringan nirkabel di seluruh dunia.
Sebab itu, Pratama menegaskan, sistem informasi secanggih apapun tidak aman dari penyadapan. Ini terkait kepentingan. Pertanyaannya, apakah pemerintah kita sadar dan peduli atas masalah ini?
"Ini yang perlu kita tekankan. Saat kita membeli sistem informasi atau alat terkadang bangga ini buatan Amerika atau China yang tidak bisa disadap. Ingat! Semua alat di AS boleh dikomersilkan jika sistem teknologi bisa diakses oleh NSA. Mereka tidak bodoh mengeluarkan alat sistem keamanan ke negara lain," ujarnya.
Pratama mengatakan semua data negara, perusahaan dan masyarakat harus dilindungi pemerintah dengan dibuat peraturan yang mewajibkan masyarakat menyimpan data-data mereka di-cloud, dropbox dan lainnya, dengan sistem privasi. Buat kata sandi atau sistem keamanan. "Melalui langkah ini walau data kita dapat diakses oleh para penyadap, namun mereka tidak bisa membaca isi data kita," tandasnya.
(dmd)