Pasar Ponsel Hancur karena Corona, RI Tetap Laksanakan Validasi IMEI
A
A
A
BANDUNG - Pemerintah memastikan. validasi International Mobile Equipment Identification (IMEI) tetap akan dilanjutkan kendati Indonesia saat ini tengah menghadapi wabah COVID 19.
Hal itu ditegaskan Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian Janu Suryanto dalam mini Talskshow dan Sosialisasi Peraturan IMEI, di Bandung belum lama ini. “Sejauh ini belum ada arahan penundaan pelaksaaan validasi IMEI. Tetap berjalan sesuai waktu yang sudah ditentukan, yakni 18 April 2020," jelas dia, dalam siaran persnya, Senin (23/3/2020).
Menurut dia, penundaan validasi IMEI akan berakibat sangat buruk terhadap ekosistem industri dan konsumen. Karena, penerapan kebijakan validasi IMEI tidak terbatas pada ponsel namun juga pada semua perangkat elektronik yang tersambung ke jaringan seluler. Kewajiban tidak terkena pada perangkat yang terakses ke jaringan wifi, karena perangkat demikian tidak memiliki IMEI.
Menurutnya yang masuk lingkup validasi IMEI hanyalah HKT, handphone pintar, komputer genggam dan tablet. Perangkat HKT yang sebelum tanggal 18 April 2020 sudah pernah digunakan, walaupun itu barang BM (Black Market) atau selundupan, tetap dapat digunakan karena peraturan ini tidak berlaku surut.
HKT yang diaktifkan mulai tanggal itu akan langsung diverifikasi oleh mesin EIR (Equipment Identity Register) yang dioperasikan operator yang terhubung ke CEIR (Central - Equipment Identity Register) di Kementeraian Perindustrian. Begitu diaktifkan tetapi IMEI-nya tidak terdaftar, operator langsung memblokirnya, karena skema yang digunakan adalah skema white list yang lebih memberi kepastian kepada pelanggan seluler.
“Karena itu pembeli ponsel pintar, komputer atau tablet sebaiknya mengecek nomor IMEI-nya sebelum mengaktifkannya, yang kalau tidak bisa “on” berarti ponselnya BM,” ujar Janu Suryanto.
Sementara itu, Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, kebijakan ini harus memprioritaskan aspek perlindungan pada konsumen, bukan semata masalah kerugian negara akibat telepon seluler ilegal tersebut. Sebab aspek perlindungan konsumen pengguna telepon seluler jauh lebih penting daripada kerugian negara.
"Pemerintah mengklaim bahwa telepon seluler ilegal mencapai 20 persen dari total telepon seluler yang beredar, dan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 2 triliun per tahunnya,” imbuh dia.
Hal itu ditegaskan Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian Janu Suryanto dalam mini Talskshow dan Sosialisasi Peraturan IMEI, di Bandung belum lama ini. “Sejauh ini belum ada arahan penundaan pelaksaaan validasi IMEI. Tetap berjalan sesuai waktu yang sudah ditentukan, yakni 18 April 2020," jelas dia, dalam siaran persnya, Senin (23/3/2020).
Menurut dia, penundaan validasi IMEI akan berakibat sangat buruk terhadap ekosistem industri dan konsumen. Karena, penerapan kebijakan validasi IMEI tidak terbatas pada ponsel namun juga pada semua perangkat elektronik yang tersambung ke jaringan seluler. Kewajiban tidak terkena pada perangkat yang terakses ke jaringan wifi, karena perangkat demikian tidak memiliki IMEI.
Menurutnya yang masuk lingkup validasi IMEI hanyalah HKT, handphone pintar, komputer genggam dan tablet. Perangkat HKT yang sebelum tanggal 18 April 2020 sudah pernah digunakan, walaupun itu barang BM (Black Market) atau selundupan, tetap dapat digunakan karena peraturan ini tidak berlaku surut.
HKT yang diaktifkan mulai tanggal itu akan langsung diverifikasi oleh mesin EIR (Equipment Identity Register) yang dioperasikan operator yang terhubung ke CEIR (Central - Equipment Identity Register) di Kementeraian Perindustrian. Begitu diaktifkan tetapi IMEI-nya tidak terdaftar, operator langsung memblokirnya, karena skema yang digunakan adalah skema white list yang lebih memberi kepastian kepada pelanggan seluler.
“Karena itu pembeli ponsel pintar, komputer atau tablet sebaiknya mengecek nomor IMEI-nya sebelum mengaktifkannya, yang kalau tidak bisa “on” berarti ponselnya BM,” ujar Janu Suryanto.
Sementara itu, Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, kebijakan ini harus memprioritaskan aspek perlindungan pada konsumen, bukan semata masalah kerugian negara akibat telepon seluler ilegal tersebut. Sebab aspek perlindungan konsumen pengguna telepon seluler jauh lebih penting daripada kerugian negara.
"Pemerintah mengklaim bahwa telepon seluler ilegal mencapai 20 persen dari total telepon seluler yang beredar, dan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 2 triliun per tahunnya,” imbuh dia.
(wbs)