Ahli Siber Desak Polisi Berpatroli di Aplikasi Chat dan Medsos

Selasa, 15 Mei 2018 - 16:54 WIB
Ahli Siber Desak Polisi...
Ahli Siber Desak Polisi Berpatroli di Aplikasi Chat dan Medsos
A A A
JAKARTA - Serentetan peristiwa pemboman di Kota Surabaya sangat mengejutkan publik tanah air. Apalagi ditengarai para pelaku melakukan aksinya bersama mengajak anggota keluarganya. Bahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan bahwa kemungkinan besar para pelaku mempelajari pembuatan bom dari internet.

Dalam keterangannya, Selasa (15/5), pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa kemungkinan para pelaku bom bunuh diri mempelajari perakitan bom dari internet sangat terbuka lebar. Apalagi dengan banyaknya tools di internet yang membuat para pelaku ini bisa melewati blokir yang dilakukan oleh Kominfo.

“Internet itu dunia yang sangat luas. Bahkan di balik dunia internet yang biasa kita akses ini terdapat dunia bawah tanah yang disebut deep web dan dark web. Tidak banyak yang tahu bahwa ada banyak kegiatan ilegal, seperti transaksi narkoba, perdagangan manusia, termasuk juga komunikasi jaringan terorisme di dalamnya disebabkan terbatasnya akses. Bukan sembarang orang bisa masuk ke dalamnya. Aparat hukum harus mulai menelusuri aktivitas terorisme yang tersebar di dunia deep web dan dark web,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) dalam keterangan persnya, Selasa (15/5/2018).

Ditambahkan Pratama, langkah preventif perlu dilakukan dengan menelusuri potensi bibit terorisme yang bisa dilacak dari aktivitas digital. Ini juga dimaksudkan sebagai antisipasi penyebaran paham radikalisme melalui internet, terutama lewat media sosial.

Selain itu, aparat juga dituntut untuk segera memetakan jaringan kelompok terorisme berdasarkan informasi hasil penangkapan tersangka. Pratama menjelaskan, sekali pun aksi teror dilakukan secara tunggal, tentu sudah ada komunikasi dan koordinasi dengan jaringan utamanya.

“Media sosial juga perlu steril dari paham radikalisme. Pemerintah bisa melakukan kerja sama dengan perusahaan media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Akun-akun yang sudah jelas aktif menyebarkan paham radikalisme harus segera ditindak dan ditutup. Termasuk juga situs web, pemerintah bisa berkoordinasi dengan penyedia hosting untuk menutup situs-situs web yang meresahkan masyarakat,” terang pria asal Cepu, Jawa Tengah ini.

Pratama menambahkan, pentingnya masyarakat dilibatkan dalam mencegah tindak terorisme. Umumnya, pelaku terorisme adalah pribadi yang tertutup dan jarang berinterasi dengan tetangga sekitar. Masyarakat yang melihat tanda-tanda seperti ini bisa segera melaporkan melalui kanal media pemerintah.

“Seharusnya dengan tingkat penetrasi internet yang cukup merata di semua wilayah, pelaporan tanda-tanda terorisme bisa dilakukan dengan mudah, seperti melalui online chatting, aplikasi berbasis Android dan iOS, atau hotline yang siap sedia 24 jam. Pemerintah harus bisa memfasilitasi itu,” terangnya.

Di samping itu, guna meminimalisir konten berbau terorisme di media sosial, Pratama mengusulkan agar pemerintah lebih merangkul para tokoh lintas agama untuk mempromosikan ajakan perdamaian. Bahwa tidak ada satu agama pun yang mengajarkan paham terorisme.

“Selama ini, disadari atau tidak, berkembangnya paham radikalisme banyak dipengaruhi oleh konten-konten di media sosial. Terorisme berkembang bukan hanya dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan pendidikan semata, namun adanya narasi-narasi ekstrim yang menawarkan kehidupan lebih bermakna dengan jalan kekerasan dan penderitaan. Narasi ini tentu sangat berbahaya. Dengan membanjiri media sosial tentang ajakan damai, tentu secara perlahan akan menenggelamkan konten-konten yang berbau terorisme,” jelas Pratama.
(wbs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8551 seconds (0.1#10.140)