Polimer Lestari & LAPI ITB Buka Pandangan Baru Generasi Millenial Soal Polistirena
A
A
A
JAKARTA - Seiring dengan kemajuan teknologi, kemudahan kini menjadi tuntunan dan kebutuhan dalam kehidupan manusia saat ini. Melalui lahirnya inovasi, kita harus meninggalkan pemikiran lama untuk kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan (sustainability) lingkungan.
Pada kuliah umum bertemakan Styrofoam dalam Kehidupan Sehari-hari dan Pendayagunaan Sampah Polistirena, Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D. Tenaga Ahli dari Lembaga Afiliasi Perguruan Tinggi dan Industri (LAPI) ITB membagikan pandangan baru tentang polistirena (biasa dikenal dengan Styrofoam) baik dalam penggunaan maupun pendayagunaan sampahnya.
Pada kuliah umum yang dilaksanakan di Gedung Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, Prof. Ir. Ahmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, sebagai dosen dari Program Studi Teknik Kimia ITB dan Budi Sadiman, Business Development dari Indonesian Olefin, Aromatic and Plastic Industry Association (Inaplas) memaparkan fakta-fakta yang selama ini tidak diketahui secara luas oleh masyarakat pada umumnya tentang bahan yang terbuat dari monomer stirena. Kuliah umum ini dihadiri oleh lebih dari seratusan mahasiswa ITB dari berbagai jurusan dan displin ilmu.
Polistirena (yang sering disebut Styrofoam) merupakan bahan utama dari berbagai produk yang sudah sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain kemasan makanan danpembungkus elektronik. Penggunaan kemasan makanan dari polistirena ini menjadi kontrovers ketika banyak orang percaya bahwa bahan utama yang secara ilmiah dikenal dengan stirena tidak aman untuk kesehatan dan memberi dampak buruk bagi tubuh manusia. Stirena sendiri adalah zat kimia yang terdapat dalam makanan pokok yang biasa dikonsumsi seperti stroberi, kopi, dan kacang.
“Jumlah stirena yang ada dalam kemasan makanan yang terbuat dari polistirena adalah 0 – 39 ppm (part per million). Jumlah ini sama dengan yang terkandung dalam kayu manis, daging sapi, biji kopi, stroberi, kacang dan tepung yang kita konsumsi langsung sehari-hari,” terang Zainal dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/11/2017).
Kemasan makanan dari polistirena banyak digunakan oleh pedagang makanan di pinggir jalan. Kemasan ini tidak hanya dapat menahan panas dan dinginnya makanan, menjaga higienitas, tetapi juga kemasan ini lebih murah dibandingkan dengan pembungkus makanan lainnya.
Namun, para aktivis lingkungan aktif meneriakkan soal produk ramah lingkungan dan meminta bahan ini diganti dengan bahan lain, seperti kemasan berbahan dasar kertas.
Walau pada faktanya, kertas yang kelihatan lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan ternyata justru sebaliknya. “Kertas, yang sering dipakai sebagai substitusi kemasan makanan dari polistirena memberi kesan lebih ramah lingkungan. Namun pada faktanya, kemasan berbahan dasar kertas memberi dampak buruk yang lebih besar pohon yang ditebang, melainkan juga kertas pembungkus makanan tersebut pada hakikatnya berlapis plastik yang membuatnya susah untuk didaur ulang.” terang Budi Sadiman.
“Ramah lingkungan itu bukan lagi persoalan mana yang terurai lebih cepat oleh alam, tetapi mana yang siklus atau daur hidupnya lebih ramah lingkungan, mulai dari bahan baku, cara produksi, penggunaan produknya, sampai pendaur-ulangan sampahnya adalah yang paling sedikit memakan energi, tidak menimbulkan pemanasan global, dan sumber daya alam yang dipakai tidak berlebihan” kata Zainal.
Ia juga menambahkan bahwa kemasan makanan polistirena terdiri dari 10% stirena dan 90% udara yang membuatnya menjadi kemasan plastik paling murah. “Sebenarnya, polistirena adalah material organik. Ia terbentuk dari karbon dan hidrogen. Sebuah material kita defenisikan organik jika terdiri dari unsur karbon, hidrogen, dan oksigen.” tandasnya.
Pada kuliah umum bertemakan Styrofoam dalam Kehidupan Sehari-hari dan Pendayagunaan Sampah Polistirena, Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D. Tenaga Ahli dari Lembaga Afiliasi Perguruan Tinggi dan Industri (LAPI) ITB membagikan pandangan baru tentang polistirena (biasa dikenal dengan Styrofoam) baik dalam penggunaan maupun pendayagunaan sampahnya.
Pada kuliah umum yang dilaksanakan di Gedung Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, Prof. Ir. Ahmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, sebagai dosen dari Program Studi Teknik Kimia ITB dan Budi Sadiman, Business Development dari Indonesian Olefin, Aromatic and Plastic Industry Association (Inaplas) memaparkan fakta-fakta yang selama ini tidak diketahui secara luas oleh masyarakat pada umumnya tentang bahan yang terbuat dari monomer stirena. Kuliah umum ini dihadiri oleh lebih dari seratusan mahasiswa ITB dari berbagai jurusan dan displin ilmu.
Polistirena (yang sering disebut Styrofoam) merupakan bahan utama dari berbagai produk yang sudah sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain kemasan makanan danpembungkus elektronik. Penggunaan kemasan makanan dari polistirena ini menjadi kontrovers ketika banyak orang percaya bahwa bahan utama yang secara ilmiah dikenal dengan stirena tidak aman untuk kesehatan dan memberi dampak buruk bagi tubuh manusia. Stirena sendiri adalah zat kimia yang terdapat dalam makanan pokok yang biasa dikonsumsi seperti stroberi, kopi, dan kacang.
“Jumlah stirena yang ada dalam kemasan makanan yang terbuat dari polistirena adalah 0 – 39 ppm (part per million). Jumlah ini sama dengan yang terkandung dalam kayu manis, daging sapi, biji kopi, stroberi, kacang dan tepung yang kita konsumsi langsung sehari-hari,” terang Zainal dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/11/2017).
Kemasan makanan dari polistirena banyak digunakan oleh pedagang makanan di pinggir jalan. Kemasan ini tidak hanya dapat menahan panas dan dinginnya makanan, menjaga higienitas, tetapi juga kemasan ini lebih murah dibandingkan dengan pembungkus makanan lainnya.
Namun, para aktivis lingkungan aktif meneriakkan soal produk ramah lingkungan dan meminta bahan ini diganti dengan bahan lain, seperti kemasan berbahan dasar kertas.
Walau pada faktanya, kertas yang kelihatan lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan ternyata justru sebaliknya. “Kertas, yang sering dipakai sebagai substitusi kemasan makanan dari polistirena memberi kesan lebih ramah lingkungan. Namun pada faktanya, kemasan berbahan dasar kertas memberi dampak buruk yang lebih besar pohon yang ditebang, melainkan juga kertas pembungkus makanan tersebut pada hakikatnya berlapis plastik yang membuatnya susah untuk didaur ulang.” terang Budi Sadiman.
“Ramah lingkungan itu bukan lagi persoalan mana yang terurai lebih cepat oleh alam, tetapi mana yang siklus atau daur hidupnya lebih ramah lingkungan, mulai dari bahan baku, cara produksi, penggunaan produknya, sampai pendaur-ulangan sampahnya adalah yang paling sedikit memakan energi, tidak menimbulkan pemanasan global, dan sumber daya alam yang dipakai tidak berlebihan” kata Zainal.
Ia juga menambahkan bahwa kemasan makanan polistirena terdiri dari 10% stirena dan 90% udara yang membuatnya menjadi kemasan plastik paling murah. “Sebenarnya, polistirena adalah material organik. Ia terbentuk dari karbon dan hidrogen. Sebuah material kita defenisikan organik jika terdiri dari unsur karbon, hidrogen, dan oksigen.” tandasnya.
(wbs)