Ancaman Perang Cyber Semakin Nyata
A
A
A
JAKARTA - Chairman lembaga keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) Pratama Persadha mengatakan perang cyber sudah menjadi ancaman yang serius bagi keamanan nasional. Menurutnya keamanan cyber, khususnya tren perang cyber yang kini menjadi perbincangan hangat di dunia internasional.
Dalam sebuah acara President Model United Nations (Presmunt) 2016, dia menerangkan pada 2015, Edward Snowden mantan kontraktor CIA yang mendapat suaka Rusia menjelaskan bahwa aktivitas peretasan yang dilakukan negara-negara semakin meningkat. Hal ini lantaran seiring dengan bergesernya paradigma perang dan intelejen moder yang semakin fokus ke dunia cyber.
Menurut Pratama, kini negara-negara maju tidak lagi berperang di area terbuka, melainkan perang di ranah cyber dengan kekuatan besar. Amerika contohnya, anggaran untuk “pertahanan” cyber digelontorkan sebanyak lebih dari 144 triliun rupiah. Tidak hanya itu, kini urusan cyber AS langsung di bawah Presiden Obama.
“Sampai saat ini masyarakat indonesia masih dengan sukarela, dengan senang hati memberikan informasi pribadi melalui sosial media. Diplomat dan Paspampres masih memakai email gratisan. Tentu ini harus ada kebijakan dan undang undang yang tegas mengatur,” terang dia dalam keterangan tertulis.
Ditambahkan olehnya, kini negara-negara berlomba mengembangkan enkripsi. Ini sebagai pertahanan terakhir agar informasi tak mudah diretas dan diketahui negara lainnya. Bahkan kini enkrpsi tidak hanya identik untuk bertahan. Dengan kemampuannya, para peretas bahkan bisa membuat virus yang bisa melakukan enkripsi, yang terkenal dengan nama ransomware.
“Ransomware ini sangat berbahaya dan bisa membuat korban mengalami pemerasan oleh peretas. Karena itu, sebaiknya sedari dini pemerintah menyiapkan lembaga yang bertanggung jawab terhadap keamanan cyber,” paparnya
Menurut dia kebutuhan akan Badan khusus yang mengamankan wilayah cyber sudah sangat mendesak. Peperangan informasi antar negara, bahkan juga melibatkan korporasi besar harusnya bisa diantisipasi segara dengan membentuk badan Cyber Nasional atau semacamnya.
Dalam sebuah acara President Model United Nations (Presmunt) 2016, dia menerangkan pada 2015, Edward Snowden mantan kontraktor CIA yang mendapat suaka Rusia menjelaskan bahwa aktivitas peretasan yang dilakukan negara-negara semakin meningkat. Hal ini lantaran seiring dengan bergesernya paradigma perang dan intelejen moder yang semakin fokus ke dunia cyber.
Menurut Pratama, kini negara-negara maju tidak lagi berperang di area terbuka, melainkan perang di ranah cyber dengan kekuatan besar. Amerika contohnya, anggaran untuk “pertahanan” cyber digelontorkan sebanyak lebih dari 144 triliun rupiah. Tidak hanya itu, kini urusan cyber AS langsung di bawah Presiden Obama.
“Sampai saat ini masyarakat indonesia masih dengan sukarela, dengan senang hati memberikan informasi pribadi melalui sosial media. Diplomat dan Paspampres masih memakai email gratisan. Tentu ini harus ada kebijakan dan undang undang yang tegas mengatur,” terang dia dalam keterangan tertulis.
Ditambahkan olehnya, kini negara-negara berlomba mengembangkan enkripsi. Ini sebagai pertahanan terakhir agar informasi tak mudah diretas dan diketahui negara lainnya. Bahkan kini enkrpsi tidak hanya identik untuk bertahan. Dengan kemampuannya, para peretas bahkan bisa membuat virus yang bisa melakukan enkripsi, yang terkenal dengan nama ransomware.
“Ransomware ini sangat berbahaya dan bisa membuat korban mengalami pemerasan oleh peretas. Karena itu, sebaiknya sedari dini pemerintah menyiapkan lembaga yang bertanggung jawab terhadap keamanan cyber,” paparnya
Menurut dia kebutuhan akan Badan khusus yang mengamankan wilayah cyber sudah sangat mendesak. Peperangan informasi antar negara, bahkan juga melibatkan korporasi besar harusnya bisa diantisipasi segara dengan membentuk badan Cyber Nasional atau semacamnya.
(akr)