Diserang Ad Blocking, Industri Periklanan Masih Santai
A
A
A
JAKARTA - Fenomena Ad Blocking atau pemblokiran iklan terjadi dengan cepat dan dampaknya sama besar dengan fenomena video streaming. Para pelaku industri di Asia Pasifik berpendapat, masih ambil sikap santai.
"Industri periklanan perlu menanganggapi Ad Blocking dengan serius dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang akan hilang begitu saja. Manusia tidak akan pernah puas, dan teknologi terus berkembang. Ini yangn harus menjadi perhatian," ucap Head of Marketing Solutions LinkedIn untuk Asia Pasifik, Olivier Legrand dalam keteranga tertulis kepada Sindonews, Selasa (22/12/2015).
Dia menambahkan, saat ini konsumen banyak mengkonsumsi konten digital melalui mobile (khususnya aplikasi mobile) dimana software Ad Blocking tidak berfungsi, sehingga publisher tidak akan terpengaruh. Pengguna akan mencari pengalaman yang berbeda, dari cara-cara yang gencar dilakukan publisher yang terus berusaha mengambil keuntungan dari Ad Inventory.
"Mengedukasi konsumen atau pengguna bisa menjadi solusi untuk masalah tersebut. Jika pengguna mengerti sisi ekonomis dari web dan melihat iklan sebagai bagian dari transaksi yang mendukung terciptanya konten, mereka akan berhenti menginstal Ad Blocker. Meskipun hal ini terlihat baik secara teori, namun pada kenyataannya hal ini tidak bekerja sebaik yang diharapkan," papar Olivier.
Sulit untuk membuat pengguna menaruh simpati pada publisher, terutama ketika mereka diserbu iklan secara terus-menerus. Fenomena Ad Blocking ini nyata dan harus bisa menanganinya sebaik mungkin.
"Seiring dengan meningkatnya popularitas fenomena Ad Blocking, publisher yang ingin menang harus lebih berfokus pada pengalaman pengguna. Kita bisa lihat dari jumlah publisher yang memasang iklan pada konten berbayar," tandasnya.
"Industri periklanan perlu menanganggapi Ad Blocking dengan serius dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang akan hilang begitu saja. Manusia tidak akan pernah puas, dan teknologi terus berkembang. Ini yangn harus menjadi perhatian," ucap Head of Marketing Solutions LinkedIn untuk Asia Pasifik, Olivier Legrand dalam keteranga tertulis kepada Sindonews, Selasa (22/12/2015).
Dia menambahkan, saat ini konsumen banyak mengkonsumsi konten digital melalui mobile (khususnya aplikasi mobile) dimana software Ad Blocking tidak berfungsi, sehingga publisher tidak akan terpengaruh. Pengguna akan mencari pengalaman yang berbeda, dari cara-cara yang gencar dilakukan publisher yang terus berusaha mengambil keuntungan dari Ad Inventory.
"Mengedukasi konsumen atau pengguna bisa menjadi solusi untuk masalah tersebut. Jika pengguna mengerti sisi ekonomis dari web dan melihat iklan sebagai bagian dari transaksi yang mendukung terciptanya konten, mereka akan berhenti menginstal Ad Blocker. Meskipun hal ini terlihat baik secara teori, namun pada kenyataannya hal ini tidak bekerja sebaik yang diharapkan," papar Olivier.
Sulit untuk membuat pengguna menaruh simpati pada publisher, terutama ketika mereka diserbu iklan secara terus-menerus. Fenomena Ad Blocking ini nyata dan harus bisa menanganinya sebaik mungkin.
"Seiring dengan meningkatnya popularitas fenomena Ad Blocking, publisher yang ingin menang harus lebih berfokus pada pengalaman pengguna. Kita bisa lihat dari jumlah publisher yang memasang iklan pada konten berbayar," tandasnya.
(dyt)